Selasa, 22 Februari 2011

Keutamaan Dzikir Pagi & Sore

Penulis: Buletin Dakwah Al Wala' Wal Bara'

Sangat banyak ayat ataupun hadits yang menerangkan keutamaan berdzikir kepada Allah. Bahkan Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan dan menganjurkan kepada kita agar senantiasa berdzikir dan mengingat-Nya (lihat edisi 29/III tentang dzikir-dzikir setelah shalat wajib). Jangan sampai harta, anak-anak ataupun kegiatan duniawi melalaikan kita dari berdzikir kepada Allah.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi." (Al-Munaafiquun:9)


Di antara dzikir-dzikir yang disunnahkan untuk dibaca dan diamalkan adalah dzikir pagi dan sore. Dzikir pagi dilakukan setelah shalat shubuh sampai terbit matahari atau sampai matahari meninggi saat waktu dhuha, kira-kira jam tujuh atau jam delapan. Adapun dzikir sore dilakukan setelah shalat 'ashar sampai terbenam matahari atau sampai menjelang waktu 'isya.

Banyak sekali keutamaan dzikir pagi dan sore sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun bacaannya dan penjelasan tentang keutamaannya adalah sebagai berikut:

1. Membaca:

الْحَمْدُ لِلَّهِ وَحْدَهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مَنْ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ
Dibaca sekali ketika pagi dan sore. Dari Anas yang dia memarfu'kannya (sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), "Sungguh aku duduk bersama suatu kaum yang berdzikir kepada Allah setelah shalat shubuh sampai terbitnya matahari lebih aku sukai daripada membebaskan/memerdekakan empat orang dari keturunan Nabi Isma'il (bangsa 'Arab). Dan sungguh aku duduk bersama suatu kaum yang berdzikir kepada Allah setelah shalat 'ashar sampai terbenamnya matahari lebih aku sukai daripada membebaskan empat orang (budak)." (HR. Abu Dawud no.3667 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahih Abu Dawud 2/698)

2. Membaca ayat kursi (Al-Baqarah:255)
Dibaca sekali ketika pagi dan sore. "Barangsiapa membacanya di pagi hari maka akan dilindungi dari (gangguan) jin sampai sore, dan barangsiapa yang membacanya di sore hari maka akan dilindungi dari gangguan mereka (jin)." (HR. Al-Hakim 1/562 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahih At-Targhiib wat Tarhiib 1/273)

3. Membaca surat Al-Ikhlaash, Al-Falaq dan An-Naas.
Dibaca 3x ketika pagi dan sore. "Barangsiapa yang membacanya tiga kali ketika pagi dan ketika sore maka dia akan dicukupi dari segala sesuatu." (HR. Abu Dawud 4/322, At-Tirmidziy 5/567, lihat Shahih At-Tirmidziy 3/182)

4. Membaca:

أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ
Jika sore hari membaca:

أَمْسَيْنَا وَأَمْسَى الْمُلْكُ لِلَّهِ ... رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهَا وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهَا ...
Dibaca sekali. (HR. Muslim 4/2088 no.2723 dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu)

5. Membaca:

اللَّهُمَّ بِكَ أَصْبَحْنَا وَبِكَ أَمْسَيْنَا وَبِكَ نَحْيَا وَبِكَ نَمُوْتُ وَإِلَيْكَ النُّشُوْرُ
Jika sore hari membaca:

اللَّهُمَّ بِكَ أَمْسَيْنَا وَبِكَ أَصْبَحْنَا وَبِكَ نَحْيَا وَبِكَ نَمُوْتُ وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ
Dibaca sekali. (HR. At-Tirmidziy 5/466, lihat Shahih At-Tirmidziy 3/142)

6. Membaca:

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
Dibaca sekali ketika pagi dan sore. "Barangsiapa yang mengucapkannya dalam keadaan yakin dengannya ketika sore hari lalu meninggal di malam harinya, niscaya dia akan masuk surga. Dan demikian juga apabila di pagi hari." (HR. Al-Bukhariy 7/150)

7. Membaca:

اللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ، اللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ، اللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ. اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ
Dibaca 3x ketika pagi dan sore. (HR. Abu Dawud 4/324, Ahmad 5/42, An-Nasa`iy di dalam 'Amalul Yaum wal Lailah no.22 dan Ibnus Sunniy no.69, serta Al-Bukhariy di dalam Al-Adabul Mufrad dan dihasankan sanadnya oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz di dalam Tuhfatul Akhyaar hal.26)

8. Membaca:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، اللَّهُمَّ إِنَّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِيْ دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِيْ، وَآمِنْ رَوْعَاتِيْ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ، وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ
Dibaca sekali ketika pagi dan sore. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shahih Ibnu Majah 2/332)

9. Membaca:

اللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيْكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِيْ سُوْءًا، أَوْ أَجُرَّهُ إِلَى مُسْلِمٍ
Dibaca sekali ketika pagi dan sore. (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidziy, lihat Shahih At-Tirmidziy 3/142)

10. Membaca:

بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Dibaca 3x ketika pagi dan sore. "Barangsiapa yang mengucapkannya tiga kali ketika pagi dan tiga kali ketika sore, tidak akan membahayakannya sesuatu apapun." (HR. Abu Dawud 4/323, At-Tirmidziy 5/465, Ibnu Majah dan Ahmad, lihat Shahih Ibnu Majah 2/332)

11. Membaca:

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا
Dibaca 3x ketika pagi dan sore. "Barangsiapa yang mengucapkannya tiga kali ketika pagi dan ketika sore maka ada hak atas Allah untuk meridhainya pada hari kiamat."
Boleh juga membaca:

... وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَرَسُوْلاً
(HR. Ahmad 4/337, An-Nasa`iy di dalam 'Amalul Yaum wal Lailah no.4 dan Ibnus Sunniy no.68, Abu Dawud 4/418, At-Tirmidziy 5/465 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz di dalam Tuhfatul Akhyaar hal.39)
12. Membaca:


يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ
Dibaca sekali ketika pagi dan sore. (HR. Al-Hakim dan beliau menshahihkannya serta disepakati oleh Adz-Dzahabiy 1/545, lihat Shahih At-Targhiib wat Tarhiib 1/273)

13. Membaca:

أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الإِسْلاَمِ وَعَلَى كَلِمَةِ الإِخْلاَصِ، وَعَلَى دِيْنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى مِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
Jika sore hari membaca:

أَمْسَيْنَا عَلَى فِطْرَةِ الإِسْلاَمِ ...
Dibaca sekali. (HR. Ahmad 3/406, 407, Ibnus Sunniy di dalam 'Amalul Yaum wal Lailah no.34, lihat Shahiihul Jaami' 4/209)

14. Membaca:

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ
Dibaca 100x ketika pagi dan sore. "Barangsiapa yang membacanya seratus kali ketika pagi dan sore maka tidak ada seorang pun yang datang pada hari kiamat yang lebih utama daripada apa yang dia bawa kecuali seseorang yang membaca seperti apa yang dia baca atau yang lebih banyak lagi." (HR. Muslim 4/2071)

15. Membaca:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Dibaca 10x. (HR. An-Nasa`iy di dalam 'Amalul Yaum wal Lailah no.24, lihat Shahih At-Targhiib wat Tarhiib 1/272)
Atau dibaca sekali ketika malas/sedang tidak bersemangat. (HR. Abu Dawud 4/319, Ibnu Majah, Ahmad 4/60, lihat Shahih Abu Dawud 3/957 dan Shahih Ibnu Majah 2/331)

16. Membaca:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Dibaca 100x ketika pagi. "Barangsiapa yang membacanya seratus kali dalam sehari maka (pahalanya) seperti membebaskan sepuluh budak, ditulis untuknya seratus kebaikan, dihapus darinya seratus kesalahan, dan dia akan mendapat perlindungan dari (godaan) syaithan pada hari itu sampai sore, dan tidak ada seorang pun yang lebih utama daripada apa yang dia bawa kecuali seseorang yang mengamalkan lebih banyak dari itu." (HR. Al-Bukhariy 4/95 dan Muslim 4/2071)

17. Membaca:

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ: عَدَدَ خَلْقِهِ، وَرِضَا نَفْسِهِ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ
Dibaca 3x ketika pagi. (HR. Muslim 4/2090)

18. Membaca:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
Dibaca sekali ketika pagi. (HR. Ibnus Sunniy di dalam 'Amalul Yaum wal Lailah no.54, Ibnu Majah no.925 dan dihasankan sanadnya oleh 'Abdul Qadir dan Syu'aib Al-Arna`uth di dalam tahqiq Zaadul Ma'aad 2/375)

19. Membaca:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ
Dibaca 100x dalam sehari. (HR. Al-Bukhariy bersama Fathul Baari 11/101 dan Muslim 4/2075)

20. Membaca:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
Dibaca 3x ketika sore. "Barangsiapa yang mengucapkannya ketika sore tiga kali maka tidak akan membahayakannya panasnya malam itu." (HR. Ahmad 2/290, lihat Shahih At-Tirmidziy 3/187 dan Shahih Ibnu Majah 2/266)

21. Membaca:

اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ
Dibaca 10x ketika pagi dan sore. "Barangsiapa yang membaca shalawat kepadaku ketika pagi sepuluh kali dan ketika sore sepuluh kali maka dia akan mendapatkan syafa'atku pada hari kiamat." (HR. Ath-Thabraniy dengan dua sanad, salah satu sanadnya jayyid, lihat Majma'uz Zawaa`id 10/120 dan Shahih At-Targhiib wat Tarhiib 1/273)

Inilah di antara dzikir-dzikir yang disunnahkan dibaca ketika pagi dan sore. Ada juga bacaan yang lainnya akan tetapi kebanyakan sanadnya dha'if sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dan Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy. Walaupun tidak menutup kemungkinan sebagiannya ada yang shahih.
Lafazh-lafazh dzikir ini belum diterjemahkan mengingat terbatasnya tempat. Bagi yang ingin melihat terjemahan dan keterangannya bisa dilihat dalam "Perisai Seorang Muslim: Doa dan Dzikir dari Al-Qur`an dan As-Sunnah".

Keutamaan Shalat Isyraaq
Dengan membaca dzikir-dzikir tersebut kita bisa mengamalkan sunnah yang lainnya yaitu shalat isyraaq (shalat ketika telah terbitnya matahari sekitar 15-20 menit). Hal ini dijelaskan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْفَجْرَ فِيْ جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، كَانَتْ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ، تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
"Barangsiapa yang shalat shubuh dengan berjama'ah kemudian dia berdzikir kepada Allah Ta'ala sampai terbitnya matahari lalu dia shalat dua raka'at, maka pahalanya seperti pahala berhaji dan 'umrah, sempurna, sempurna, sempurna." (HR. At-Tirmidziy no.591 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy di dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy no.480, Al-Misykat no.971 dan Shahih At-Targhiib no.468, lihat juga Shahih Kitab Al-Adzkaar 1/213 karya Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy)
Betapa besarnya keutamaan amalan tersebut! Selayaknya bagi kita untuk melaksanakannya semaksimal mungkin. Jangan sampai terlewat pahala yang begitu besar ini. Jangan sampai waktu kita terbuang untuk ngobrol kesana kemari yang sifatnya mubah sehingga hilanglah kesempatan mendapatkan pahala yang besar ini. Konsentrasikanlah setelah shalat shubuh dengan dzikir. Dzikir setelah shalat subuh dilanjutkan dengan dzikir pagi sampai selesai. Kemudian membaca Al-Qur`an atau muraja'ah hafalan sampai terbit matahari sekitar 15-20 menit. Setelah itu kita shalat dua raka'at yang diistilahkan dengan shalat isyraaq (jangan shalat ketika tepat matahari terbit, karena hal ini dilarang di dalam syari'at).
Janganlah waktu ini disibukkkan dengan urusan lain yang kurang penting. Kecuali amalan lain yang mempunyai keutamaan yang besar seperti ta'lim atau urusan lainnya yang sifatnya sangat urgen dan mendesak. Mudahan-mudahan kita mendapatkan pahala yang besar ini sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits tersebut. Aamiin. Wallaahu A'lam.

Maraaji': Hishnul Muslim karya Asy-Syaikh Sa'id bin 'Ali bin Wahf Al-Qahthaniy, Shahih Kitab Al-Adzkar wa Dha'ifuhu, Syarh Riyadhush Shalihin bab Adz-Dzikr 'indash Shabah wal Masa`, dan Al-Kalimuth Thayyib karya Ibnu Taimiyah.

(http://fdawj.co.nr/)

ETIKA MEMBERI NAMA ANAK DALAM ISLAM

Penulis: Abu Muhammad Abdurrahman Sarijan

Pengantar;

Menanggapi e-mail dari seorang ikhwan tentang etika memberi nama dalam Islam, maka berikut kami susun makalah yang berkenaan dengan masalah yang dimaksud.

Kami mengira permasalahan ini sangat penting untuk diketahui oleh kaum muslimin dikarenakan banyaknya kaum muslimin yang masih asal-asalan atau salah dalam memberikan nama kepada anak-anak mereka.

Akhirnya semoga makalah yang ringkas ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amiin.

Pentingnya Pemberian Nama

Nama adalah ciri atau tanda, maksudnya adalah orang yang diberi nama dapat mengenal dirinya atau dikenal oleh orang lain. Dalam Al-Qur’anul Kariim disebutkan;

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَل لَّهُ مِن قَبْلُ سَمِيًّا (7) سورة مريم

“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia” (QS. Maryam: 7).

Dan hakikat pemberian nama kepada anak adalah agar ia dikenal serta memuliakannya. Oleh sebab itu para ulama bersepakat akan wajibnya memberi nama kapada anak laki-laki dan perempuan 1). Oleh sebab itu apabila seseorang tidak diberi nama, maka ia akan menjadi seorang yang majhul (=tidak dikenal) oleh masyarakat.

Waktu Pemberian Nama

Telah datang sunnah dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang waktu pemberian nama, yaitu:

a) Memberikan nama kepada anak pada saat ia lahir.

b) Memberikan nama kepada anak pada hari ketiga setelah ia lahir.

c) Memberikan nama kepada anak pada hari ketujuh setelah ia lahir.

Pemberian Nama Kepada Anak Adalah Hak (Kewajiban) Bapak.

Tidak ada perbedaan pendapat bahwasannya seorang bapak lebih berhak dalam memberikan nama kepada anaknya dan bukan kepada ibunya. Hal ini sebagaimana telah tsabit (=tetap) dari para sahabat radhiallahu ‘anhum bahwa apabila mereka mendapatkan anak maka mereka pergi kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam agar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nama kepada anak-anak mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan bapak lebih tinggi daripada ibu.

sumber : darussalaf.or.id

Alkohol dalam Obat dan Parfum

Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Banyak pertanyaan seputar alkohol yang masuk ke meja redaksi, kaitannya dengan obat, kosmetika, atau pun lainnya. Berikut ini penjelasan Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Alhamdulillah, para ulama besar abad ini telah berbicara tentang permasalahan alkohol1, maka di sini kita nukilkan fatwa-fatwa mereka sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Terdapat perbedaan ijtihad di antara mereka dalam memandang permasalahan ini. Asy-Syaikh Ibnu Baz v berpendapat bahwa sesuatu yang telah bercampur dengan alkohol tidak boleh dimanfaatkan, meskipun kadar alkoholnya rendah, dalam arti tidak mengubahnya menjadi sesuatu yang memabukkan. Karena hal ini tetap masuk dalam hadits

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”2
Ketika beliau ditanya tentang obat-obatan yang sebagiannya mengandung bahan pembius dan sebagian lainnya mengandung alkohol, dengan perbandingan kadar campuran yang beraneka ragam, maka beliau menjawab: “Obat-obatan yang memberi rasa lega dan mengurangi rasa sakit penderita, tidak mengapa digunakan sebelum dan sesudah operasi. Kecuali jika diketahui bahwa obat-obatan tersebut dari “Sesuatu yang banyaknya memabukkan” maka tidak boleh digunakan berdasarkan sabda Nabi n:

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”
Adapun jika obat-obatan itu tidak memabukkan dan banyaknya pun tidak memabukkan, hanya saja berefek membius (menghilangkan rasa) untuk mengurangi beban rasa sakit penderita maka yang seperti ini tidak mengapa.”(Majmu’ Fatawa, 6/18)
Juga ketika beliau ditanya tentang parfum yang disebut
الْكُلُوْنِيَا
(cologne), beliau berkata: “Parfum family:traditional arabic'>
الْكُلُوْنِيَا
(cologne) yang mengandung alkohol tidak boleh (haram) untuk digunakan. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan keterangan para dokter yang ahli di bidang ini bahwa parfum jenis tersebut memabukkan karena mengandung “spiritus” yang dikenal. Oleh sebab itu, haram bagi kaum lelaki dan wanita untuk menggunakan parfum jenis tersebut...
Kalau ada parfum jenis cologne yang tidak memabukkan maka tidak haram menggunakannya. Karena hukum itu berputar sesuai dengan ‘illah-nya3, ada atau tidaknya ‘illah tersebut (kalau ‘illah itu ada pada suatu perkara maka perkara itu memiliki hukum tersebut, kalau tidak ada maka hukum itu tidak berlaku padanya).” (Majmu’ Fatawa , 6/396 dan 10/38-39)
Dan yang lebih jelas lagi adalah jawaban beliau pada Majmu’ Fatawa (5/382, dan 10/41) beliau berkata: ”Pada asalnya segala jenis parfum dan minyak wangi yang beredar di khalayak manusia hukumnya halal. Kecuali yang diketahui mengandung sesuatu yang merupakan penghalang untuk menggunakannya, karena ‘sesuatu’ itu memabukkan atau banyaknya memabukkan atau karena ‘sesuatu’ itu adalah najis, dan yang semacamnya...
Jadi, jika seseorang mengetahui ada parfum yang mengandung ‘sesuatu’ berupa bahan memabukkan atau benda najis yang menjadi penghalang untuk menggunakannya, maka diapun meninggalkannya (tidak menggunakanya) seperti cologne. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan persaksian para dokter (yang ahli di bidang ini) bahwa parfum ini tidak terbebas dari bahan memabukkan karena mengandung ‘spiritus’ berkadar tinggi, yang merupakan bahan memabukkan, sehingga wajib untuk ditinggalkan (tidak digunakan). Kecuali jika ditemukan ada parfum jenis ini yang terbebas dari bahan memabukkan (maka tentunya tidak mengapa untuk digunakan). Dan jenis-jenis parfum yang lain sebagai gantinya, sekian banyak yang dihalalkan oleh Allah k, walhamdulillah.
Demikian pula halnya, segala macam minuman dan makanan yang mengandung bahan memabukkan, wajib untuk ditinggalkan. Kaidahnya adalah: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram”, sebagaimana sabda Rasulullah n

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”
Dan hanya Allah k lah yang memberi taufik.”
Demikian pula yang terpahami dari fatwa guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i v (dalam Ijabatus Sa`il hal. 697) bahwa pendapat beliau sama dengan pendapat gurunya yaitu Asy-Syaikh Ibnu Baz v ketika ditanya tentang cologne. Beliau menjawab (tanpa rincian) bahwa tidak boleh menggunakannya dan tidak boleh memperjualbelikannya, berdasarkan hadits Anas bin Malik z:

لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرُهَا وَمُعْتَصِرُهَا وَشَارِبُهَا وَحَامِلُهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيْهَا وَبَائِعُهَا وَآكِلُ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِي لَهَا وَالْمُشْتَرَاةُ لَهُ

“Rasulullah n melaknat 10 jenis orang karena khamr: yang memprosesnya (membuatnya), yang minta dibuatkan, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan untuknya, yang menghidangkannya, yang menjualnya, yang makan (menikmati) harga penjualannya, yang membelinya dan yang dibelikan untuknya.”4
Sementara itu, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v dan Asy-Syaikh Al-Albani v berpendapat bahwa pada permasalahan ini ada rincian, sebagaimana yang akan kita simak dengan jelas dari fatwa keduanya.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/178) cetakan Darul Atsar, berkata: “Bagaimana menurut kalian tentang sebagian obat-obatan yang ada pada masa ini yang mengandung alkohol, terkadang digunakan pada kondisi darurat?
Kami nyatakan: Menurut kami, obat-obatan ini tidak memabukkan seperti mabuk yang diakibatkan oleh khamr, melainkan hanya berefek mengurangi kesadaran penderita dan mengurangi rasa sakitnya. Jadi ini mirip dengan obat bius yang berefek menghilangkan rasa sakit (sehingga penderita tidak merasakan sakit sama sekali) tanpa disertai rasa nikmat dan terbuai.
Telah diketahui bahwa hukum yang bergantung pada suatu ‘illah5, jika ‘illah tersebut tidak ada maka hukumnya pun tidak ada. Nah, selama ‘illah suatu perkara dihukumi khamr adalah “memabukkan”, sedangkan obat-obatan ini tidak memabukkan, berarti tidak termasuk kategori khamr yang haram. Wallahu a’lam. Wajib bagi kita untuk mengetahui perbedaan antara pernyataan: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram” dengan pernyataan: “Sesuatu yang memabukkan dan dicampur dengan bahan yang lain maka haram.” Karena pernyataan yang pertama artinya minuman itu sendiri (adalah merupakan khamr), apabila anda minum banyak tentu anda mabuk, dan apabila anda minum sedikit maka anda tidak mabuk, namun Rasulullah n mengatakan “Sedikitnyapun haram.” (Kenapa demikian padahal yang sedikit tersebut tidak memabukkan?) Karena itu merupakan dzari’ah (artinya bahwa yang sedikit itu merupakan wasilah/ perantara yang akan menyeret pelakunya sampai akhirnya dia minum banyak, sehingga diharamkan). Adapun mencampur dengan bahan lain dengan perbandingan kadar alkoholnya sedikit sehingga tidak menjadikan bahan tersebut memabukkan maka yang seperti ini tidak mengubah bahan tersebut menjadi khamr (yang haram). Jadi ibaratnya seperti benda najis yang jatuh ke dalam air (tapi kadar najisnya sedikit) dan tidak menajisi (merusak kesucian) air tersebut (karena warna, bau, ataupun rasanya tidak berubah) maka air tersebut tidak menjadi najis karenanya (tetap suci dan mensucikan).”
Asy-Syaikh Al-Albani v ketika ditanya tentang berbagai parfum atau minyak wangi yang mengandung alkohol, maka beliau menjawab: “Apabila kadar alkohol yang terkandung di dalamnya menjadikan parfum-parfum yang harum itu sebagai cairan yang memabukkan, dalam arti kalau diminum oleh seorang pecandu khamr dan ternyata memberi pengaruh seperti pengaruh khamr (yaitu mengakibatkan dia mabuk, maka parfum-parfum tersebut hukumnya tidak boleh (haram untuk digunakan). Adapun jika kadar alkoholnya sedikit (dalam arti tidak mengubah parfum-parfum tersebut menjadi memabukkan) maka hukumnya boleh. (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)
Kemudian kita akhiri pembahasan ini dengan fatwa Asy-Syaikh Al-Albani v yang sangat rinci. Beliau v berkata: “Untuk memahami makna hadits:

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.”
Mari kita mendatangkan contoh: Kalau ada 1 liter air yang mengandung 50 gram bahan memabukkan yang kita namakan alkohol, maka cairan ini –yang tersusun dari air dan alkohol– berubah menjadi memabukkan. Namun jika seseorang minum sedikit maka dia tidak akan mabuk. Lain halnya jika dia minum dengan kadar yang lazim diminum oleh seseorang maka dia akan mabuk, dengan demikian menjadilah yang sedikit tadi haram. Sebaliknya, kalau ada 1 liter air mengandung 5 gram alkohol (misalnya). Jika seseorang minum 1 liter air tersebut sampai habis dia tidak mabuk, maka yang seperti ini halal untuk diminum.
Selanjutnya, apakah boleh bagi seorang muslim mengambil 1 liter air kemudian menumpahkan 5 gram alkohol ke dalamnya dengan alasan bahwa 5 gram alkohol tersebut tidak mengubah 1 liter air yang ada menjadi memabukkan?
Jawabannya: Tidak boleh. Kenapa tidak boleh? Karena tidak boleh bagimu untuk memiliki bahan yang memabukkan yang merupakan inti dari khamr, yaitu alkohol. Jadi kegiatan mencampur alkohol dengan bahan lain tidak boleh dalam syariat Islam…
Telah kami nyatakan bahwa obat-obatan yang ada di apotek-apotek pada masa ini –bahkan boleh jadi kebanyakannya– mengandung alkohol, atau tertera padanya tulisan perbandingan kadar alkoholnya: 5 gram, 10 gram… Apakah kita mengatakan bahwa obat-obatan ini jika diminum seorang sehat ataupun sakit dengan kadar yang banyak dan ternyata dia mabuk, berarti tidak boleh digunakan karena memabukkan, meskipun dia hanya menelan 1 sendok saja? Inilah yang dimaksudkan dengan hadits “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.” Adapun jika perbandingan alkoholnya sedikit –dalam arti berapapun yang dia minum tidak menjadikannya mabuk– maka boleh menggunakannya, meskipun dia minum banyak.
Namun perkara lain (yang penting untuk diingat) sama dengan apa yang telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa obat-obatan yang mengandung alkohol dengan perbandingan yang tidak melanggar syariat sesuai dengan rincian yang disebutkan, tidak boleh bagi seorang apoteker muslim untuk meracik obat yang seperti itu. Karena tidak boleh ada alkohol di rumah seorang muslim ataupun di tempat kerjanya. Haram baginya untuk membelinya atau membuatnya sendiri. Dan ini perkara yang jelas karena Rasulullah n bersabda:

لَعَنَ اللهُ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً...

“Allah melaknat 10 jenis orang karena khamr…”7
Seorang apoteker yang hendak meracik obat dan mencampurnya dengan alkohol yang memabukkan itu, baik dengan cara membuat alkohol sendiri (dengan proses pembuatan tertentu) atau membeli alkohol yang sudah jadi, termasuk dalam salah satu dari 10 jenis orang yang dilaknat dalam hadits tersebut.
Lain halnya apabila seseorang membeli obat yang sudah jadi, dengan kadar alkohol yang rendah yang tidak menjadikan banyaknya obat tersebut memabukkan, maka ini boleh.” (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)
Dan kami memandang bahwa pendapat Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsamin v dan Asy-Syaikh Al-Albani v, lebih dekat kepada kebenaran.
Wallahu a’lam.

1 Perlu diketahui bahwa alkohol (alkanol) ada beberapa golongan. Di antaranya etanol (inilah yang dijadikan sebagai zat pelarut, bahan bakar, atau zat asal untuk preparat-preparat farmasi, dan sebagian besar digunakan untuk minuman keras), spiritus, dsb., sebagaimana diterangkan dalam buku-buku kimia dan farmasi.
2 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dari Jabir bin Abdillah c. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/160-161). Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, dan beliau menshahihkannya dengan syawahidnya dari beberapa shahabat yang lain (Al-Irwa‘, 8/42-43).
3 ‘Illah suatu hukum adalah sebab penentu suatu perkara memiliki hukum tersebut.
4 Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1318) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil v dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad (1/57) dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Hadits yang semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan dengan lafadz
لَعَنَ اللهُ ...
(Allah melaknat…) dari Ibnu ‘Umar c, oleh Ath-Thahawi, Al-Hakim, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dengan keseluruhan jalan-jalannya dalam Al-Irwa` (5/365-367).
5 Lihat catatan kaki no. 3
6 Lihat haditsnya secara lengkap pada fatwa Asy-Syaikh Muqbil di halaman sebelumnya.


(http://asysyariah.com/print.php?id_online=312)

Sabtu, 05 Februari 2011

Beragam Tujuan Menimba Ilmu Agama

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata
"Janganlah kalian memperlajari ilmu karena 3 hal: (1) Dalam rangka debat kusir dengan orang-orang bodoh, (2) Untuk mendebat para Ulama, atau (3) memalingkan wajah-wajah manusia ke arah kalian. Carilah apa yang ada di sisi Allah Subhanahu Wata’ala dengan ucapan dan perbuatan kalian. Karena sesungguhnya itulah yang kekal abadi, sedangkan yang selain itu akan hilang dan pergi"
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/45)

Ishaq Ibnu Ath-Thiba’ Rahimahullah berkata
"Aku mendengar Hammad Bin Salamah Rahimahullah berkata: Barangsiapa mencari (ilmu -pen) hadits untuk selain Allah Subhanahu Wata’ala maka Allah Subhanahu Wata’ala akan membuat makar atasnya"


Waki’ Rahimahullah berkata
"Tidaklah kita hidup melainkan dalam suatu tutupan. Andaikata tutupan tersebut disingkap, niscaya akan memperlihatkan suatu perkara yang besar yakni kejujuran niat"


Al Hafidz Adz Dzahabi Rahimahullah berkata
""menuntut ilmu yang merupakan perkara yang wajib dan sunnah yang sangat ditekankan, namun terkadang menjadi suatu yang tercela pada sebagian orang. Seperti halnya seseorang menimba ilmu agar dapat berjalan bersama (disetarakan -pen) dengan para ulama, atau supaya dapat mendebat kusir orang-orang yang bodoh, atau untuk memalingkan mata manusia ke arahnya, atau supaya dapat diagungkan dan dikedepankan, atau dalam rangka meraih dunia, harta, kedudukan, dan jabatan tinggi. Ini semua merupakan salah satu dari tiga golongan yang api neraka dinyalakan (sebagai balasan -pen) bagi mereka [1]"

(An Nubadz fi Adabi Thalabil ‘ilmi hal 10-11)
[1] Hadits riwayat Muslim no 1907 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu
Sumber: Majalah Asysyari’ah
Vol III/No.33/1428 H/2007 M Hal 1

Mengamalkan Ilmu

Abu Darda Radhiyallhu ‘Anhu berkata, "Engkau tidak akan menjadi seorang alim hingga engkau menjadi orang yang belajar. Dan engkau tidak dianggap alim tentang suatu ilmu, sampai engkau mengamalkannya".

Ali Radhiyallahu ‘Anhu berkata, "Ilmu membisikkan untuk diamalkan kalau saeorang menyambut (maka ilmu itu akan bertahan bersama dirinya). Bila tidak demikian maka ilmu itu akan pergi".

Al Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, "Seorang alim senantiasa dalam keadaan bodoh hingga dia mengamalkan ilmunya. Bila dia sudah mengamalkannya, barulah ia menjadi alim".

Diambil dari ‘Awa’iq Ath Thalab, hal 17-18
Sumber: Majalah Asy Syariah Vol IV/No 45/1429 H/ 2008
M

SHAHIH BUKHARI dan SHAHIH MUSLIM Kitab Hadits Paling Shahih

Al-Ustadz Ahmad Hamdani Ibnu Muslim

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya), "Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikr agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya" (An Nahl:44)

Al-Qur’an menjelaskan syariat secara umum sedangkan As-Sunnah (hadits) merinci dan menjabarkannya. Allah Subhanahu Wata’ala menjamin untuk menjaga kemurnian agama dengan penjagaan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam firman-Nya (yang artinya), "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikir dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" (Al Hijr:9)

Menurut keterangan ulama, yang dimaksud dengan Adz-Dzikr adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Melalui para ulama dan Ahli Hadits yang terkenal ketakwaannya, kuat hafalannya dan mencurahkan seluruh kehidupannya untuk meneliti dan memilih hadits mana yang baik (shahih), lemah (tidak diterima periwayatannya) dan palsu, Allah Subhanahu Wata’ala menjaga keduanya sampai hari kiamat.

Adalah Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim, dua orang ulama ahli hadits yang pertama kali menyusun kitab hadits yang hanya berisikan hadits-hadits shahih sesuai dengan syaratnya. Metode yang ditempuh dalam penyusunan kitab tersebut adalah dengan memilih periwayat-periwayat yang harus memenuhi persyaratan hadits shahih yaitu sanadnya bersambung sampai Rasulullah, dinukil dari periwayat yang takwa, kuat hafalannya, tidak mudah lupa, tidak ganjil (menyelisihi hadits shahih yang lebih kuat) dan tidak cacat.

Adapun Al-Imam Al-Bukhari dalam penyusunan kitabnya menentukan persyaratan lagi yang lebih ketat. Diantaranya periwayat-periwayat (rawi) haruslah sejaman dan mendengar langsung dari rawi yang diambil hadits darinya. Kelebihan kitab Shahih Al-Bukhari adalah terdapat pengambilan hukum fiqih, perawinya lebih terpercaya dan memuat beberapa hikmah dimana unsur-unsur ini tidak ada pada Shahih Muslim.

Jadi secara umum kitab Shahih Al-Bukhari lebih shahih dibanding kitab Shahih Muslim. Namun ada beberapa sanad dalam Shahih Muslim yang lebih kuat daripada sanad Shahih Al-Bukhari. Kiranya cukuplah kesepakatan umat (ulama) sesudah mereka akan keshahihan kedua kitab tersebut dan menilai keduanya kitab yang paling shahih setelah Al-Qur’an sebagai keistimewaan tersendiri. Kecuali golongan SYI’AH yang tidak mengakui keberadaan keduanya. Meskipun demikian Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim tidaklah memuat semua hadits shahih sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Al-Bukhari. Beliau hanya memasukkan sekian ribu hadits karena khawatir kitabnya terlalu "besar" sehingga membosankan pembaca. Demikian juga Al-Imam Muslim, beliau menegaskan bahwa beliau hanya menyusun hadits-hadits yang disepakati keshahihannya.

Masih banyak hadits shahih yang tidak masuk ke dalam kedua kitab tersebut. Al-Imam Al-Bukhari mengatakan hadits-hadits shahih yang beliau tinggalkan lebih banyak karena beliau menghafal 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits lemah. Sementara kitab Shahih Al-Bukhari sendiri memuat 4000 hadits shahih tanpa pengulangan dan 7275 hadits shahih dengan pengulangan.

Sedangkan kitab Shahih Muslim memuat 4000 hadits shahih tanpa pengulangan dan 12.000 hadits shahih dengan pengulangan. Lalu dimanakah kita bisa melacak hadits-hadits shahih lainnya yang lolos dari saringan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim?

Kita dapat melacaknya di kitab-kitab hadits yang terkenal seperti Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Kitab-kitab sunan yang empat, Mustadrak Al-Hakim, Sunan Al-Baihaqi, Sunan Ad-Daruquthni, dan lainnya. Meskipun demikian, para ulama setelah mereka terus meneliti akan keshahihan kitab-kitab ini terutama kitam Mustadrak Al-Hakim dan Sunan At-Tirmidzi yang -menurut para Ulama- penulisnya kurang ketat dalam menilai hadits (gampang menilai shahih sebuah hadits). Wallahu a’lam.

Sumber Bacaan:
Al Manzhumah Al Baiquniyyah
Taisirul Musthalahil Hadits
Al Baitsul Hatsits, dll

Sabtu, 29 Januari 2011

Koreksi sholat kita : Pakaian ketika sholat

Penulis: Syaikh Abu 'Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman
.: :.
Muqadimah

Pakaian sebagai kebutuhan primer kita sehari-hari sangat layak diperhatikan terlebih ketika kita menghadap Allah di dalam sholat. Kita diharuskan berpakaian bersih suci dari segala jenis najis dan menutup aurat. Permasalahan bersih dari najis, tentu kita sudah banyak yang memahaminya. Tetapi tentang menutup aurat? Seperti bagaimanakah pakaian yang seharusnya dikenakan di waktu sholat? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan kita kupas pada rubrik ahkam kali ini lewat tulisan Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam sebuah karya beliau yang berjudul Al Qaulul Mubin fi Akhtha`il Mushallin (Keterangan yang jelas tentang kesalahan orang-orang yang sholat) yang diterbitkan oleh penerbit Dar Ibni Qayim, Arab Saudi hal 17-32. Beliau termasuk murid senior Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, pakar hadits abad ini yang karya-karyanya sudah beredar di seluruh dunia dan menjadi rujukan para thalibul 'ilmi.

Tasyabuh dalam Berpakaian

Sebuah riwayat dalam Shahih Muslim disampaikan dengan sanadnya sampai kepada Abu Utsman An Nahdi, ia berkata, "Umar pernah mengirim surat kepada kami di Azerbaijan yang isinya: 'Wahai Utbah bin Farqad! Jabatan itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ayah dan ibumu. Karena itu kenyangkanlah kaum muslimin di negeri mereka dengan apa yang mengenyangkan di rumahmu[1], hindarilah bermewah-mewah, memakai pakaian ahli syirik dan memakai sutera."

Dalam Musnad Ali bin Ja'ad ada tambahan, "...pakailah sarung, rida' (jubah), dan sandal serta buanglah selop dan celana panjang... pakailah pakaian bapak kalian Ismail, hindarilah bernikmat-nikmat dan hindarilah pakaian orang-orang asing." (Riwayat Ali bin Ja'ad dan Abu Uwanah dengan sanad shahih).

Waki' dan Hanad meriwayatkan ucapan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu di dalam Az Zuhd, beliau berkata, "Pakaian tidak akan serupa hingga hati menjadi serupa." (Sanadnya dha'if).

Ucapan beliau ini diambil dari sabda Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum itu." (HSR Abu Dawud, Ahmad, dan selainnya).

Dari sinilah Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu memerintahkan rakyatnya agar membuang selop dan celana panjang serta memerintahkan mereka mengenakan pakaian yang biasa dikenakan orang Arab, yaitu dengan tujuan memlihara kepribadian mereka agar jangan condong kepada orang-orang 'ajam.

Perbuatan tasyabuh (dalam hal pakaian) yang dilakukan oleh umat ini kepada musuh-musuhnya merupakan tanda lemahnya iltizam mereka dan lemahnya akhlak mereka. Mereka telah ditimpa penyakit bunglon dan bimbang. Perjalanan mereka pun guncang seperti benda padat yang telah cair, siap dileburkan dalam berbagai bentuk di setiap waktu. Bagaimana pun juga tasyabuh ini merupakan penyakit yang jelek. Perumpamaannya seperti seorang yang menisbatkan dirinya kepada orang lain selain ayahnya. Mereka tidak disukai oleh umat yang melahirkan mereka, tidak pula diakui umat yang mereka tiru dan cintai.

Mungkin timbul pertanyaan: Kenapa para ulama tidak berupaya meluruskan kebiasaan atau adat ini sebelum menjadi perkara besar? Jawabannya: Sesungguhnya para ulama telah berupaya keras meluruskannya, akan tetapi dalam berhadapan dengan kenyataan bahwa yang mayoritas mengalahkan yang minoritas sehingga upaya para ulama tersebut tidak banyak memberikan hasil. Banyak dari kaum muslimin merasa pada posisi yang sulit di tengah-tengah adat dan pakaian kaum musyirikn padahal di antara mereka ada yang dikenal alim. Mereka inilah yang menjadi contoh jelek bagi kaum muslimin, wal 'iyadzu billah.[2]

Lebih parah lagi di antara mereka ada yang meninggalkan shalat hanya karena khawatir pantalonnya berkerat-kerut hingga merusak penampilan. Hal ini banyak kita dengan dari mereka. Karena itu di antara upaya menghidangkan sunnah di hadapan umat, kami bawakan beberapa kriteria pakaian sholat yang sepatutnya diperhatikan seorang muslim supaya terhindar dari hal-hal tersebut di atas.

Pakaian dalam Sholat

Kriteria tersebut adalah:

1. Tidak ketat sehingga menggambarkan bentuk aurat.

Mengenakan pakaian ketat jelas tidak disukai syariat dan kedokteran karena efeknya berbahaya bagi badan. Bahkan ada yang saking ketatnya hingga membuat pemakainya tidak dapat sujud. Bila karena mengenakannya seseorang meninggalkan sholat, maka jelas pakaian semacam ini haram. Dan memang kenyataan menunjjukkan bahwa mayoritas orang yang mengenakan pakaian semacam ini adalah orang-orang yang tidak sholat.

Demikian pula banyak di antara kaum muslimin di jaman ini yang menunaikan sholat dengan pakaian yang membentuk kedua kemaluan atau membentuk salah satunya. Al Hafizh Ibnu Hajar meceritakan sebuah riwayat dari Asyhab tentang seseorang yang sholat hanya dengan menggunakan celana panjang (tanpa ditutupi sarung atau jubah atau gamis), beliau berkata, "Hendaknya ia mengulangi sholatnya ketika itu juga kecuali bila celananya tebal." Sedangkan sebagian ulama Hanafiyah memakruhkan hal itu. Padahal saat itu keadaan celana panjang mereka sangat longgar, lalu bagaimana dengan celana pantalon yang sangat sempit?!

Syaikh Al Albani berkata, "Celana pantalon mengandung dua cela.

Pertama, orang yang menggunakannya berarti bertasyabuh dengan kaum kafir. Pada mulanya kaum muslimin mengenakan celana panjang yang luas dan longgar yang sekarang masih digunakan oleh sebagian orang di Suriah dan Libanon. Mereka sama sekali tidak mengenal celana pantalon, kecuali setelah mereka ditaklukkan dan dijajah. Kemudian setelah kaum penjajah takluk dan mengundurkan diri mereka meninggalkan jejak yang buruk, lalu dengan kebodohan dan kejahilan kaum muslimin melestarikan peninggalan mereka tadi.

Kedua, celana pantalon dapat membentuk aurat, sedangkan aurat laki-laki adalah dari lutut hingga pusar. Ketika sholat seorang muslim seharusnya amat jauh dari keadaan bermaksiat kepada RabbNya, namun bagi mereka yang menggunakan celana pantalon, anda akan melihat kedua belahan pantatnya terbentuk, bahkan dapat membentuk apa yang ada di antara kedua pantatnya tersebut. Bagaimana muungkin orang yang dalam keadaannya semacam ini dikatakan sholat dan berdiri di hadapan Rabbul 'Alamin?!

Anehnya banyak di antara pemuda muslim yang mengingkari wanita-wanita berpakaian ketat atau sempit karena membentuk bodinya sementara mereka sendiri lupa akan diri mereka. Mereka sendiri terjatuh pada hal yang diingkari, sebab tidak ada perbedaan antara wanita yang berpakaian sempit dan membentuk tubuhnya dengan pria yang memakai celana pantalon yang juga membentuk pantatnya. Pantat pria dan pantat wanita keduanya sama-sama aurat. Karena itu wajib bagi para pemuda untuk segera menyadari musibah yang telah melanda mereka kecuali orang yang dipelihara Allah, namun mereka sedikit[3].

Adapun bila celana pantalon tersebut luas, maka sah sholat dengannya. Namun akan lebih utama bila di atasnya ada gamis yang menutup antara pusar hingga lutut atau lebih rendah hingga pertengahan betis atau mata kaki. Yang demikian lebih sempurna dalam menutup aurat[4]. (Al Fatawa 1/69 oleh Syaikh bin Baz).

2. Tidak tipis dan tidak transparan

Sebagaimana makruh (dibenci)nya sholat dengan pakaian ketat yang menggambarkan bentuk aurat, maka demikian pula tidak boleh sholat dengan pakaian yang tipis yang tampak secara transparan apa yang ada di baliknya seperti pakaian sebagian orang yang gila mode di jaman ini, mereka poles apa yang dianggap aib oleh syariat hingga tampak indah. Mereka adalah tawanan-tawanan syahwat, budak-budak adat dan mereka mempunyai propagandis yang menyerukan propaganda-propaganda, menawarkan mode-mode baru, "Inilah yang terbaru, inilah yang trendi, tidak kolot dan kuno[5]."

Termasuk dalam bab ini adalah sholat dengan mengenakan pakaian tidur "piyama". Sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Bukhari di dalam Shohihnya dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Pernah ada seseorang yang datang menjumpai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu bertanya tentang sholat dengan mengenakan satu pakaian. Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Bukankah setiap kalian mampu mendapatkan dua pakaian!?"

Kemudian seseorang bertanya kepada Umar, lalu Umar menjawab, "Bila Allah memberikan kelapangan seseorang hendaknya ia sholat dengan sarung dan jubah, atau sarung dan gamis, atau sarung dan mantel (jubah luar), atau celana panjang dan gamis atau celana panjang dan jubah, atau celana panjang dan mantel, atau celana pendek dan mantel, atau celana pendek dan gamis (yang menutupi sampai bawah lutut, red)." (Muttafaqun 'alaihi).

Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu pernah melihat Nafi' sholat sendiri dengan mengenakan satu pakaian. Lalu beliau berkata padanya, "Bukankah saya memberimu dua pakaian?" Nafi' menjawab, "Benar." Ibnu Umar bertanya pula, "Apakah kamu pergi ke pasar dengan mengenakan satu pakaian?" Nafi' menjawab, "Tidak." Ibnu Umar berkata, "Allah yang lebih berhak bagimu berhias untukNya."[6]

Demikian pula orang yang sholat dengan pakaian tidur, tentunya ia malu pergi ke pasar dengannya karena tipis dan transparan.

Ibnu Abdil Barr dalam At Tahmid 6/369 mengatakan, "Sesungguuhnya ahli ilmu menganggap mustahab bagi seseorang yang mampu dalam pakaian agar berhias dengan pakaian, minyak wangi dan siwaknya, ketika sholat sesuai dengan kemampuannya."

Para fuqaha dalam membahas syarat-syarat sahnya sholat yaitu pada pembahasan "Menutup Aurat", mereka mengatakan, "Syarat bagi pakaian penutup adalah tebal, tidaklah sah bila tipis dan mengesankan warna kulit."

Semua ini berlaku bagi pria dan wanita, baik pada sholat sendiri ataupun sholat berjamaah. Dengan demikian siapa saja yang terbuka auratnya padahal ia mampu menutupnya, maka sholatnya tidak sah walaupun sholat sendiri di tempat yang gelap, karena sudah merupakan ijma' akan wajibnya menutup aurat di dalam sholat.

Allah ta'ala berfirman,

يَا بَنِيْْ آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

"Wahai anak Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid." (Al A'raf: 31).

Yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) pada ayat di atas yaitu pakaian, sedangkan yang dimaksud dengan masjid yaitu sholat. Artinya, "Pakailah pakaian yang menutup aurat kalian ketika sholat."

Ucapan Umar radhiyallahu 'anhu yang menyebutkan jenis-jenis pakaian yang menutup atau yang banyak dipakai tersebut merupakan dalil akan wajibnya sholat dengan pakaian yang menutup aurat. Beliau menggabungkan yang satu dengan yang lain bukan berarti pembatasan, akan tetapi yang satu bisa mengganti kedudukan yang lain. Adapun mengenakan satu pakaian hanya boleh dilakukan dalam keadaan yang mendesak atau terpaksa. Di sana juga terdapat faidah bahwa sholat dengan dua pakaian itu lebih afdhol daripada dengan satu pakaian. Dan Al Qodhi Iyadh telah menegaskan ijma' dalam hal ini.[7]

Berkata Imam Syafi'i rahimahullah, "Bila seseorang sholat dengan gamis yang transparan[8], maka sholatnya tidak sah."[9]

Beliau juga berkata, "Yang lebih parah dalam hal ini adalah kaum wanita bila sholat dengan daster (pakaian wanita di rumah) dan kudung, sedangkan daster menggambarkan bentuk tubuhnya. Saya lebih suka wanita tersebut sholat dengan mengenakan jilbab yang lapang di atas kudung dan dasternya sehingga tubuh tidak terbentuk dengan daster tadi."[10]

Untuk itu hendaknya kaum wanita tidak sholat dengan pakaian yang transparan seperti pakaian dari nilon dan sejenisnya, karena bahan jenis ini walaupun luas dan menetup seluruh tubuh namun selalu terbuka atau membentuk. Dalilnya adalah sabda Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

سَيَكُوْنُ فِي آخِرِ أُمَّتِيْ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ...

"Akan ada kelak pada umatku wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang..." (HR Malik dan Muslim).

Ibnu Abdil Barr berkata, "Yang dimaksud oleh Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis atau mini yang membentuk tubuh dan tidak menutup auratnya. Mereka disebut berpakaian tetapi pada hakekatnya telanjang."[11]

Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah sebuah riwayat sebagai berikut, "Suatu hari Al Mundzir bin Az Zubair datang dari Iraq, lalu ia mengirim oleh-oleh kepada Asma` pakaian tipis dan antik dari Quhistan dekat Khurasan, setelah ia mengalami kebutaan. Ia pun lantas meraba pakaian tersebut dengan tangannya kemudian berkata, "Ah! Kembalikan pakaian ini." Pengantarnya merasa tidak enak dan berkata, "Wahai ibu! Sungguh pakaian ini tidak transparan." Asma` berkata, "Pakaian ini, walaupun tidak transparan akan tetapi membentuk."[12]

Kata As Safarini dalam Gidza`ul Albab, "Bila pakaian itu tipis hingga tampak aurat si pemakainya, baik lelaki maupun wanita, maka dilarang dan haram mengenakannya. Sebab secara syariat dianggap tidak menutup aurat sebagaimana diperintahkan. Hal ini tidak diperselisihkan lagi."[13]

Kata Imam As Syaukani dalam Nailul Author 2/115, "Wajib bagi wanita menutup badannya dengan pakaian yang tidak membentuk tubuuh, inilah syarat dalam menutup aurat."

Sebagian fuqoha menyebutkan, "Pakaian yang transparan pada sekilas pandangan, keberadaannya seperti tidak ada. Karena itu tidak ada sholat bagi yang mengenakannya (untuk sholat)."

Sebagian yang lain menegaskan bahwa pakaian para salaf tidak ada yang terbuat dari bahan yang membentuk aurat karena tipis, sempit atau yang lain.

3. Tidak membuka aurat

Ada beberapa golongan yang terkadang sholat dengan aurat terbuka, di antaranya:

a. Mereka yang mengenakan celana panjang pantalon yang membentuk aurat atau mengesankannya atau transparan dengan kemeja pendek. Ketika ruku' dan sujud, kemeja tertarik ke atas sedang celana tertarik ke bawah. Dengan demikian punggung dan sebagian auratnya tampak. Hal ini kadangkala terjadi bila tidak bisa dikatakan sering. Perhatikanlah, aurat mughalladhah (alat vital)nya tampak ketika ia ruku' atau sujud di hadapan Rabbnya. Na'udzubillah! Kita berlindung kepada Allah dari kebodohan, sebab bila dalam keadaan demikian sedang aurat terbuka, jelas mengantarkan pada batalnya sholat. Lantas siapa kambing hitamnya? Celana pantalon dan memang celana pantalon asalnya dari negeri kafir.[14]

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin dalam menanggapi beberapa kesalahan yang dilakukan sebagian kaum muslimin di dalam sholat, beliau berkata, "Banyak di antara manunsia tidak lagi mengenakan pakaian yang luas dan lapang, mereka hanya mengenakan celana panjang dan kemeja pendek yang menutupi dada dan punggung. Bila mereka ruku', kemeja tertarik hingga tampak sebagian punggung dan ekornya yang merupakan aurat dan dilihat oleh orang yang ada di belakangnya. Padahal terbukanya aurat merupakan sebab batalnya sholat.[15]

b. Wanita yang tidak menjaga pakaian dan tidak memperhatikan menutup seluruh badan, sedang ia berada di hadapan Robbnya, baik karena bodoh, malas atau acuh tak acuh. Padahal sudah menjadi kesepakatan bahwa pakaian yang mencukupi bagi wanita untuk sholat adalah baju panjang dan kerudung.[16]

Kadang-kadang seorang wanita sudah memulai sholat padahal sebagian rambut atau lengan atau betisnya masih terbuka. Maka ketika itu –menurut jumhur ahli ilmu- wajib ia mengulangi sholatnya. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sayidah Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لاَيَقْبَلُ اللهُ صَلاَة حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ

"Allah tidak menerima sholat wanita yang telah haid (baligh) kecuali dengan kerudung." (HSR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan yang lain).

Ummu Salamah radhiyallahu 'anha pernah ditanya sebagai berikut, "Pakaian apa yang pantas dikenakan wanita untuk sholat?" Beliau menjawab, "Kerudung dan baju panjang yang longgar sampai menutup kedua telapak kaki."[17] (Riwayat Malik dan Baihaqi dengan sanad jayyid).

Imam Ahmad juga pernah ditanya, "Berapa banyak pakaian yang dikenakan wanita untuk sholat?" Beliau menjawab, "Paling sedikit baju rumah dan kudung dengan menutup kedua kakinya dan hendaknya baju itu lapang dan menuutup kedua kakinya."

Imam Syafi'i berkata, "Wanita wajib menutup seluruh tubuhnya di dalam sholat kecuali dua telapak tangan dan mukanya."

Beliau juga berkata, "Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali telapak tangan dan wajah. Telapak kaki pun termasuk aurat. Apabila di tengah sholat tersingkap apa yang ada antara pusar dan lutut bagi pria sedang bagi wanita tersingkap sedikit dari rambut atau badan atau yang mana saja dari anggota tubuhnya selain yang dua tadi dan pergelangan –baik tahu atau tidak- maka mereka harus mengulang sholatnya. Kecuali bila tersingkap oleh angin atau karena jatuh lalu segera mengembalikannya tanpa membiarkan walau sejenak. Namun bila ia membiarkan sejenak walau seukuran waktu untuk mengembalikan, maka ia tetap harus mengulanginya."[18] Oleh karena itu wajib bagi wanita muslimah memperhatikan pakaian mereka di dalam sholat, lebih-lebih di luar sholat.

Banyak juga dari mereka yang sangat memperhatikan bagian atas badan yaitu kepala. Mereka menutup rambut dan pangkal leher tapi tidak memperhatikan anggota badan bagian bawah dengan kaos kaki yang sewarna dengan kulit sehingga tampak semakin indah. Terkadang ada di antara mereka yang sholat dengan penampilan semacam ini. Hal ini tidak boleh. Wajib bagi mereka untuk segera menyempurnakan hijab sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Teladanilah wanita-wanita Muhajirin ketika turun perintah Allah agar mengenakan kerudung, mereka segera merobek korden-korden yang mereka punyai lalu memakainya sebagai kerudung. Tetapi sekarang, kita tidak perlu menyuruh mereka merobek sesuatu, cukup kita perintahkan mereka memanjangkan dan meluaskannya hingga menjadi pakaian yang benar-benar menutup.[19]

Mengingat telah meluasnya pemakaian jilbab pendek di kalangan muslimah di beberapa negeri yang berpenduduk muslim, maka saya memandang penting untuk menjelaskan secara ringkas bahwa kaki dan betis wanita adalah aurat. Ucapan saya wabillahit taufiq adalah sebagai berikut:

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

... وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ ...

"Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." (An Nur: 31).

Sisi pendalilan dari ayat ini adalah bahwa wanita juga wajib menutup kaki, sebab bila dikatakan tidak, maka alangkah mudahnya seseorang menampakkan perhiasan kakinya, yaitu gelang kaki sehingga tidak perlu ia memukulkan kaki untuk itu. Akan tetapi hal itu tidak boleh dilakukan karena menampakkannya merupakan penyelisihan terhadap syariat dan penyelisihan yang semacam ini tidak mungkin terjadi di jaman risalah. Karena itu seseorang dari mereka melakukan tipu daya dengan cara memukulkan kakinya agar kaum pria mengetahui perhiasan yang disembunyikan. Maka Allah pun melarang mereka dari hal itu.

Sebagai penguat dari penjelasan saya, Ibnu Hazm berkata, "Ini adalah nash yang menunjukkan bahwa kaki dan betis termasuk aurat yang mesti disembunyikan dan tidak halal menampakkannya."[20]

Adapun penguat dari sunnah adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه البخاري و زاد غيره: فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَكَيْفَ يَصْنَعُ النِّسَاءُ بِذُيُوْلِهِنَّ؟) قَالَ: يُرْخِيْنَ شِبْرًا. قَالَتْ: إِذَنْ تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ: فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ. وَفِي رِوَايَةٍ: رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم لأُِمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ شِبْرًا ثُمَّ اسْتَزَدْنَهُ فَزَادَهُنَّ شِبْرًا فَكُنَّ يُرْسِلْنَ إِلَيْنَا فَنَذْرَعُ لَهُنَّ ذِرَاعًا. (رواه الترمذي و أبو داود و ابن ماجه و هو صحيح, انظر سلسلة الأحاديث الصحيحة رقم 460)

Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat." Ummu Salamah radhiyallahu 'anha bertanya, "Apa yang harus diperbuat oleh wanita terhadap ujung pakaian mereka?" Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Turunkan sejengkal." Ummu Salamah berkata, "Bila demikian kakinya akan tersingkap." Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Turunkan sehasta, jangan lebih dari itu." Dalam riwayat lain: Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan pada ummahatul mu`minin (untuk menambah) sejengkal, dan mereka minta tambah, maka Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menambahkannya. (HSR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah) (Lihat Ash Shohihah 60).

Faidah dari riwayat ini adalah bahwa yang dibolehkan adalah sekitar satu hasta, yaitu dua jengkal bagi tangan ukuran sedang.

Imam Al Baihaqi berkata, "Riwayat ini merupakan dalil tentang wajibnya menutup kedua punggung telapak kaki bagi wanita."[21]

Ucapan "Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan keringanan" dan pertanyaan Ummu Salamah: "Apa yang harus diperbuat wanita terhadap ujung pakaiannya?" setelah ia mendengar ancaman bagi orang yang melabuhkan pakaiannya, semua ini mengandung sanggahan terhadap anggapan bahwa hadits-hadits yang mutlak (bersifat umum) mengenai ancaman bagi pelaku isbal (melabuhkan pakaian sampai di bawah mata kaki) itu ditaqyid (dibatasi kemutlakannya) oleh hadits lain yang tegas yaitu bagi yang melakukannya karena sombong.

Anggapan ini terbantah karena sekiranya benar demikian, maka pertanyaan Ummu Salamah yang meminta kejelasan hukum bagi wanita itu tidak ada maknanya. Akan tetapi Ummu Salamah memahami bahwa ancaman itu bersifat mutlak, berlaku bagi orang yang sombong dan yang tidak. Karena pemahaman beliau yang demikian, maka beliau menanyakan kejelasan hukumnya bagi wanita sebab wanita dituntut untuk berlaku isbal guna menutup aurat yaitu kaki. Dengan demikian jelas bagi beliau bahwa ancaman itu tidak berlaku bagi wanita, tetapi khusus bagi lelaki dan hanya dalam pengertian ini.

'Iyadl rohimahullah telah menukil adanya ijma' bahwa larangan itu hanya berlaku bagi kaum pria, tidak bagi kaum wanita karena adanya taqrir Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam atas pemahaman Ummu Salamah. Larangan yang dimaksud adalah larangan isbal.

Walhasil, bagi pria ada dua keadaan:

1. Keadaan yang mustahab yaitu memendekkan sarung hingga pertengahan betis.

2. Keadaan jawaz (boleh) yaitu melebihkannya hingga di atas mata kaki.

Adapun bagi wanita juga ada dua keadaan:

1. Keadaan mustahab yaitu melebihkan sekitar satu jengkal dari keadaan jawaz bagi pria.

2. Keadaan jawaz yaitu melebihkannya sekitar satu hasta.[22]

Sunnah inilah yang dijalankan oleh wanita-wanita di jaman Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam dan jaman-jaman selanjutnya.

Dari sinilah kaum muslimin di masa-masa awal menetapkan syarat bagi ahli dzimmah harus tersingkap betis dan kakinya supaya tidak serupa dengan wanita-wanita muslimah. Hal ini sebagaimana diterangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidho' Ash Shirothil Mustaqim.

Termasuk pula orang-orang yang terjerumus dalam kesalahan ini yaitu memulai sholat sedang aurat tersingkap adalah orang tua yang memakaikan anak mereka celana pendek dan menyertakannya sholat di masjid. Padahal Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مُرُوْهُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعٍ

"Perintahkan mereka sholat ketika mereka berumur tujuh tahun." (HSR. Ibnu Khuzaimah, Hakim, Baihaqi, dan yang lain).

Sedang tidak diragukan lagi bahwa perintah ini mencakup juga perintah menunaikan syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Perhatikanlah, jangan sampai anda termasuk orang-orang yang lalai.

Demikianlah beberapa perkara yang harus kita perhatikan dalam hal pakaian dalam sholat berikut beberapa kesalahan yang terjadi. Namun masih ada beberapa hal yang berkaitan dengan syarat-syarat pakaian dalam sholat di antaranya tidak musbil, tidak bergambar, dan bukan pakaian yang dicelup merah.

Wallahu a'lam.

Diterjemahkan oleh Muhammad Rusli dengan sedikit tambahan


[1] Abu Awanah di dalam Shahihnya menerangkan sisi lain dari sebab ucapan Umar ini, yaitu mengatakan di permulaannya, "Utbah bin Farqad pernah mengutus seorang budak untuk membawa kiriman kepada Umar yang berisi berbagai macam makanan yang di atasnya terdapat permadani dari bulu. Ketika Umar melihatnya beliau berkata, "Apakah kaum muslimin kenyang dengan makanan ini di negeri mereka?" Budak itu menjawab, "Tidak." Umar berkata, "Saya tidak suka ini." Lalu beliau menulis surat kepadanya...

[2] Syaikh Abu Bakar Al Jaza`iri dalam kitabnya At Tadkhin memberi rincian sebagai berikut, "Di antara adat-adat rusak itu ialah memelihara anjing di dalam rumah, wanita muslimah membuka wajah mereka, kaum pria mencukur jenggot, mengenakan celana pantalon ketat tanpa gamis atau sarung di atasnya, membuka kepala, beramah tamah dengan ahli fasik dan munafik, tidak beramar ma'ruf nahi munkar dengan slogan 'kebebasan berfikir' dan 'hak asasi manusia'."

[3] Dari kaset rekaman beliau ketika menjawab pertanyaan Abu Ishaq Al Huwaini Al Mishri, direkam di Urdun pada bulan Muharram tahun 1407 H, lihat tulisan beliau: Syarat keempat dari syarat hijab wanita muslimah, yaitu agar luas atau longgar dan tidak sempit, yaitu dalam kitab Hijab Mar`atil Muslimah. Maka kesalahan yang disebut di atas terkena pada pria dan wanita Namun pada pria hal itu lebih tampak, karena mayoritas kaum muslimin di jaman ini sholat menggunakan pantalon. Bahkan kebanyakan mereka sholat dengan pantalon yang sempit, laa haula walaa quwwata illa billah. Padahal Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang seorang sholat dengan mengenakan celana panjang tanpa ditutupi jubah sebagaimana dalam riwayat Abu Dawud dan Hakim dengan sanad hasan. Hal ini diterangkan dalam Shahih Jami'ush Shoghir 6830.

[4] Dengan ini pula Lajnah Ad Daimah menjawab pertanyaan seputar hukum sholat dengan celana pantalon pada Idaratul Buhuts no 2003 sebagai berikut, "Bila pakaian (celana pantalon) tersebut longgar hingga tidak menggambarkan aurat dan tebal hingga tidak transparan, maka boleh sholat dengannya. Adapun bila transparan, tampak semua yang ada di baliknya, maka batal sholat dengannya. Sedang bila pakaian tersebut hanya sekedar membentuk aurat maka makruh sholat dengannya kecuali bila tidak ada yang lain..." Wabillahit taufiq.

[5] Fatawa Rasyid Ridha 5/2056

[6] Riwayat Thohawi dalam Syarah Ma'anil Atsar

[7] Fathul Bari 1/476, Majmu' 3/181, Nailul Author 2/78 & 84

[8] As Sa'aty dalam Fathul Rabbani 18/236 berkata, "Gamis adalah pakaian berjahit mempunyai dua lengan dan saku, yaitu yang hari ini dikenal dengan jalabiyah, merupakan pakaian yang lebar menutup seluruh badan dari leher ke mata kaki atau ke pertengahan betis. Dahulu pakaian ini digunakan sebagai pakaian dalam."

[9] Al Umm 1/78

[10] Al Umm 1/78

[11] Tanwirul Hawalik 3/103

[12] Riwayat Ibnu Sa'ad dalam At Thobaqotul Kubra 8/184 dengan sanad shahih.

[13] Ad Dinul Kholish 6/180

[14] Tanbihat Hammah 'ala malabisil muslimin al-yaum, hal. 28

[15] Majalah Al Mujtama' no. 855

[16] Bidayatul Mujtahid 1/115, Al Mughni 1/603, Al Majmu' 3/171 dan I'anatut Tholibin 1/285. Maksudnya menutup badan dan kepalanya. Jika pakaiannya lapang sehingga dengan sisanya ia menutup kepala, maka hal ini boleh. Disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya 1/483 secara mu'allaq dari Ikrima, ia berkata, "Sekiranya seluruh tubuh sudah tertutup dengan satu pakaian, niscaya hal itu sudah mencukupi."

[17] Masail Ibrohim bin Hanif lil Imam Ahmad no. 286

[18] Al Umm 1/77

[19] Hijab Al Mar`ah Al Muslimah hal. 61.

[20] Al Muhalla 3/216

[21] Tirmidzi berkata dalam Al Jami' 4/224, "Kandungan hadits ini yaitu adanya rukhshoh bagi wanita untuk melabuhkan kain sarung karena hal itu lebih sempurna dalam menutup."

[22] Fathul Bari 10/259

(Dikutip dari http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=3, terjemahan kitab Al Qaulul Mubin, edisi bahasa Indonesia "Koreksi atas Kekeliruan Praktek Ibadah Shalat", karya Syaikh Abu 'Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman, judul " Pakaian ketika Sholat", hal 75-88. Dicetak oleh Maktabah Salafy Press, cetakan pertama, Dzulqa'idah 1423 H)

Hukum Meninggalkan Shalat

Penulis: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

Telah kita ketahui kesepakatan ulama tentang kafirnya orang yang menentang kewajiban shalat. Namun, bagi yang meninggalkannya karena malas, terlebih lagi ia masih mengimani bahwa shalat itu amalan yang disyariatkan, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, antara yang mengkafirkan dengan yang tidak mengkafirkan dan apakah ia dibunuh1 atau tidak.

Masalah hukum orang yang meninggalkan shalat ini memang merupakan masalah khilafiyyah sejak zaman dahulu di kalangan salaful ummah, dan perselisihannya teranggap (mu’tabar). Oleh karena itu, janganlah kita gegabah menuduh orang yang menyelisihi pendapat kita dalam hal ini, semisal kita mengatakannya Murji` (pengikut pemahaman Murji`ah, karena tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat) atau menvonisnya dengan Khariji (pengikut pemahaman Khawarij, karena mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat). Hukum asal dalam hal khilaf yang mu’tabar adalah seseorang tidak boleh mengingkari pendapat orang lain dan mencelanya. Mencela seseorang karena mengikuti pendapat ulama dari kalangan salaf (para imam yang dikenal) sama dengan mencela ulama salaf tersebut. Karena itu sekali lagi kita tegaskan, janganlah kita memboikot dan mencela saudara kita dalam permasalahan-permasalahan yang kita dapati para ulama kita juga berbeda pendapat di dalamnya. Memang masalah fiqih yang seperti ini, kita dapati para ulama sering berbeda pendapat, dan mereka pun melapangkan bagi saudaranya selama permasalahan itu memang dibolehkan/ dilapangkan untuk berijtihad.

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menyatakan bahwa permasalahan meninggalkan shalat ini termasuk permasalahan yang sangat besar yang pada hari ini banyak orang terjatuh di dalamnya (ditimpa musibah dengan tidak menunaikannya). Dan ulama beserta para imam dari kalangan umat ini, yang dahulu maupun sekarang, berselisih pendapat tentang hukumnya. (Mukaddimah kitab Hukmu Tarikish Shalah hal. 3)

Orang yang meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja berarti ia telah melakukan dosa yang teramat besar. Dosanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih besar daripada dosa membunuh jiwa yang tidak halal untuk dibunuh, atau dosa mengambil harta orang lain secara batil, atau dosa zina, mencuri dan minum khamr. Meninggalkan shalat berarti menghadapkan diri kepada hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kemurkaan-Nya. Ia akan dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala baik di dunia maupun di akhiratnya. (Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim rahimahullahu, hal. 7)

Tentang hukuman di akhirat bagi orang yang menyia-nyiakan shalat dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ. قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ

“Apakah yang memasukkan kalian ke dalam neraka Saqar?” Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat….” (Al-Muddatstsir: 42-43)

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ

“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari mengerjakan shalatnya….” (Al-Ma’un: 4-5)

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاَةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kerugian2.” (Maryam: 59)

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

1. Abdullah bin Mubarak, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Hubaib dari kalangan Malikiyyah berpendapat kafir3 orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja walaupun ia tidak menentang kewajiban shalat. Pendapat ini dihikayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Al-Hakam bin ‘Uyainah radhiyallahu 'anhum. Sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu juga berpendapat demikian4. (Al-Majmu’ 3/19, Al-Minhaj 2/257, Nailul Authar, 2/403)

Mereka berargumen dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيْلَهُمْ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian jumpai mereka dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Apabila mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 5)

Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan harus terpenuhinya tiga syarat barulah seorang yang tadinya musyrik dibebaskan dari hukuman bunuh sebagai orang kafir yaitu bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Bila tiga syarat ini terpenuhi berarti ia telah menjadi seorang muslim yang terpelihara darahnya. Namun bila tidak, ia bukanlah seorang muslim. Dengan demikian, barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak mau menunaikannya, berarti tidak memenuhi syarat untuk dibiarkan berjalan, yang berarti ia boleh dibunuh5.

Argumen mereka dari hadits adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ

“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 242)

Demikian pula hadits Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهُ فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti ia kafir.” (HR. Ahmad 5/346, At-Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 574 dan juga dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib hal. 299) [Lihat Tharhut Tatsrib, 1/323]

Dalam dua hadits di atas dinyatakan secara umum “meninggalkan shalat” tanpa ada penyebutan “meninggalkan karena menentang kewajibannya”. Berarti ancaman dalam hadits diberlakukan secara umum, baik bagi orang yang meninggalkan shalat karena menentang kewajibannya atau pun tidak.

Seorang tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq rahimahullahu berkata:

كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ اْلأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

“Adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang adanya sesuatu dari amalan-amalan yang bila ditinggalkan dapat mengkafirkan pelakunya kecuali amalan shalat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2622, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, demikian pula dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 562)

Abdullah menyebutkan bahwa para sahabat sepakat ‘orang yang meninggalkan shalat itu kafir’ dan mereka tidak mensyaratkan ‘harus disertai dengan pengingkaran akan kewajibannya’ atau ‘menentang kewajiban shalat’. Karena yang mengatakan shalat itu tidak wajib, jelas sekali kekafirannya bagi semua orang. (Al-Majmu’ 3/19, Al-Minhaj 2/257, Tharhut Tatsrib 1/323, Nailul Authar 2/403)

2. Sementara itu, dinukilkan pula pendapat mayoritas ulama yang memandang tidak atau belum kafirnya orang yang meninggalkan shalat secara sengaja. Al-Imam Abdul Haq Al-Isybili rahimahullahu dalam kitabnya Ash Shalah wat Tahajjud (hal. 96) menyatakan, “Seluruh kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah, baik ahli haditsnya maupun selain mereka, berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja dalam keadaan ia mengimani kewajiban shalat dan mengakui/menetapkannya, tidaklah dikafirkan. Namun dia telah melakukan suatu perbuatan dosa yang amat besar. Adapun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara zhahir menyebutkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat, demikian pula ucapan ‘Umar radhiyallahu 'anhu dan selainnya, mereka takwil sebagaimana mereka mentakwil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ...

“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman saat melakukan perbuatan zina tersebut.”6

Demikian pula hadits-hadits lain yang senada dengan ini. Adapun ahlul ilmi yang berpendapat dibunuhnya orang yang meninggalkan shalat, hanyalah memaksudkan ia dibunuh sebagai hukum had, bukan karena ia kafir. Demikian pendapat ini dipegangi oleh Al-Imam Malik, Asy Syafi’i, dan selain keduanya.”

Al-Hafizh Al-‘Iraqi rahimahullahu berkata, “Jumhur ahlul ilmi berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat bila memang ia tidak menentang kewajibannya. Ini merupakan pendapat para imam: Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad bin Hambal. Terhadap hadits-hadits yang shahih dalam masalah hukum meninggalkan shalat ini7, mereka menjawab dengan beberapa jawaban, di antaranya:

Pertama: Makna dari hadits-hadits tersebut adalah orang yang meninggalkan shalat pantas mendapatkan hukuman yang diberikan kepada orang kafir yaitu dibunuh.

Kedua: Vonis kafir yang ada dalam hadits-hadits tersebut diberlakukan kepada orang yang menganggap halal meninggalkan shalat tanpa udzur.

Ketiga: Meninggalkan shalat terkadang dapat mengantarkan pelakunya kepada kekafiran, sebagaimana dinyatakan bahwa ‘perbuatan maksiat adalah pos kekafiran’.

Keempat: Perbuatan meninggalkan shalat adalah perbuatan orang-orang kafir.” (Tharhut Tatsrib, 1/324-325)

Dalil yang dipakai oleh jumhur ulama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukan-Nya dengan sesuatu8 (syirik) dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa`: 48)

Sementara tidak mengerjakan shalat bukan perbuatan syirik, namun salah satu perbuatan dosa besar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan untuk diberikan pengampunan bagi siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki.

Juga hadits-hadits yang banyak, di antaranya hadits ‘Ubadah ibnush Shamit radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ، كَانَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدًا يُدْخِلُهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شاَءَ عَذَّبَهُ، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ

“Shalat lima waktu Allah wajibkan atas hamba-hamba-Nya. Siapa yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakan di antara kelima shalat tersebut karena meremehkan keberadaannya maka ia mendapatkan janji dari sisi Allah untuk Allah masukkan ke surga. Namun siapa yang tidak mengerjakannya maka tidak ada baginya janji dari sisi Allah, jika Allah menghendaki Allah akan mengadzabnya, dan jika Allah menghendaki maka Allah akan mengampuninya.” (HR. Abu Dawud no. 1420 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)

Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاَةُ الْمَكْتُوْبَةُ، فَإِنْ أَتَمَّهَا وَإِلاَّ قِيْلَ: انْظُرُوا هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كاَنَ لَهُ تَطَوُّعٌ أُكْمِلَتِ الْفَرِيْضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ يُفْعَلُ بِسَائِرِ اْلأَعْمَالِ الْمَفْرُوْضَةِ مِثْلُ ذَلِكَ

“Amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba nanti pada hari kiamat adalah shalat wajib. Jika ia sempurnakan shalat yang wajib tersebut maka sempurna amalannya, namun jika tidak dikatakanlah, ‘Lihatlah, apakah orang ini memiliki amalan tathawwu’ (shalat sunnah)?’ Bila ia memiliki amalan tathawwu’, disempurnakanlah shalat wajib yang dikerjakannya dengan shalat sunnahnya. Kemudian seluruh amalan yang difardhukan juga diperbuat semisal itu.” (HR. Ibnu Majah no. 1425 dan lainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah dan Al-Misykat no. 1330-1331)

Demikian pula hadits dalam Ash-Shahihain yang dibawakan oleh ‘Ubadah ibnush Shamit radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَابْنُ أَمَتِهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ، وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ، وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ عَمَلٍ

“Siapa yang mengucapkan, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, ‘Isa adalah hamba Allah, putra dari hamba perempuan Allah, kalimat-Nya yang Dia lontarkan kepada Maryam dan ruh ciptaan-Nya, dan surga itu benar adanya, neraka pun benar adanya’, maka orang yang bersaksi seperti ini akan Allah masukkan ke dalam surga apa pun amalannya.” (HR. Al-Bukhari no. 3435 dan Muslim no. 139)

Dalam satu riwayat Al-Imam Muslim (no. 141) dibawakan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ النَّارَ

“Siapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah saja dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah, maka Allah haramkan neraka baginya.”

Selain itu, banyak didapatkan dalil yang menunjukkan tidak kekalnya seorang muslim yang masih memiliki iman walau sedikit di dalam neraka, bila ia telah mengucapkan syahadatain, seperti hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berikut ini. Anas berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُخْرَجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ شَعِيْرَةً، ثُمَّ يُخْرَجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ بُرَّةً، ثُمَّ يُخْرَجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ ذَرَّةً

“Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan (iman) seberat sya’ir (satu jenis gandum). Kemudian akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat burrah (satu jenis gandum juga). Kemudian akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat semut yang sangat kecil.” (HR. Al-Bukhari no. 44 dan Muslim no. 477)

Ulama yang berpandangan tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat tidaklah kemudian membebaskan pelakunya dari hukuman atau meringan-ringankan hukumannya. Bahkan sebaliknya, hukuman berat dijatuhkan sebagaimana yang akan kita baca dalam keterangan berikut ini.

Ibnu Syihab Az-Zuhri, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Abu Hanifah, Dawud bin ‘Ali dan Al-Muzani berpendapat, orang yang meninggalkan shalat karena malas, tidaklah divonis kafir, namun fasik. Ia harus ditahan atau dipenjara oleh pemerintah muslimin9 dan dipukul dengan pukulan yang keras sampai darahnya bercucuran. Hukuman ini terus ditimpakan padanya sampai ia mau bertaubat dan mengerjakan shalat atau sampai mati dalam penjara10. Hukuman bunuh tidak sampai dijatuhkan padanya kecuali bila ia menentang kewajiban shalat, karena ada hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

“Tidak halal ditumpahkan darah seseorang yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah saja dan ia bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali salah satu dari tiga golongan, yaitu seseorang yang sudah/pernah menikah melakukan perbuatan zina, karena jiwa dibalas jiwa (seseorang membunuh orang lain maka balasannya ia diqishash/dibunuh juga), dan orang yang meninggalkan agamanya, berpisah dengan jamaahnya kaum muslimin.” (HR. Al-Bukhari no. 6878 dan Muslim no. 4351) [Al-Majmu’ 3/19, Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hal. 7-8]

Dalam hadits di atas tidak disebutkan hukum bunuh untuk orang yang meninggalkan shalat. (Al-Minhaj, 2/257)

Madzhab Malikiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa ada udzur, ia diminta bertaubat dari perbuatannya. Bila tidak mau bertaubat maka dibunuh11 dengan cara dipenggal dengan pedang menurut pendapat jumhur12. Namun hukuman bunuh ini dijatuhkan sebagai hukum had baginya bukan dibunuh karena kafir. Setelah meninggal, ia dikafani, dishalati, dan dikuburkan di pemakaman muslimin. (Al-Majmu’ 3/17, Al-Minhaj 2/257, Nailul Authar, 2/403)

Dari keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu’ Fatawa (22/40-53) sehubungan dengan perkara shalat ini, tampak bahwa beliau membagi manusia menjadi empat macam:

• Orang yang menolak untuk mengerjakan shalat sampai ia dibunuh, sementara di hatinya sama sekali tidak ada pengakuan akan kewajiban shalat dan tidak ada keinginan untuk mengerjakannya. Orang ini kafir menurut kesepakatan kaum muslimin.

• Orang yang terus-menerus meninggalkan shalat sampai meninggalnya, sama sekali ia tidak pernah sujud kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ia pun tidak mengakui kewajibannya maka orang ini pun kafir.

• Orang yang tidak menjaga shalat lima waktu, ini adalah keadaan kebanyakan manusia. Sekali waktu ia mengerjakan shalat, pada kali lain ia meninggalkannya. Orang yang keadaannya seperti ini berada di bawah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki akan diadzab, kalau tidak maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuninya. Dalilnya adalah hadits ‘Ubadah ibnush Shamit radhiyallahu 'anhu yang telah disebutkan di atas.

• Kaum mukminin yang menjaga shalat mereka. Inilah yang mendapat janji untuk masuk surga Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dari perbedaan pendapat yang ada, penulis sendiri lebih condong pada pendapat yang menyatakan tidak kafir. Dan inilah pendapat yang menenangkan hati kami, wallahu Ta’ala a’lam bish-shawab.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata ketika menguatkan pendapat ini, “Terus-menerus kaum muslimin saling mewarisi dengan orang yang meninggalkan shalat (dari kalangan kerabat mereka). Seandainya orang yang meninggalkan shalat itu kafir dan tidak akan diampuni dosanya, tentu tidak boleh mewarisi dan tidak mewariskan harta kepada kerabatnya. Adapun jawaban argumen yang dibawakan oleh yang berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan hadits Jabir, hadits Buraidah dan riwayat Abdullah ibnu Syaqiq, adalah bahwa hadits-hadits tersebut dibawa maknanya kepada orang yang meninggalkan shalat akan menjadi serikat bagi orang kafir dalam sebagian hukum yang diberlakukan kepadanya, yaitu ia wajib/harus dibunuh. Dengan takwil ini terkumpullah nash-nash syariat dan kaidah-kaidah yang telah disebutkan.” (Al-Majmu’, 3/19)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan, “Aku berpandangan bahwa yang benar adalah pendapat jumhur. Adapun riwayat yang datang dari sahabat bukanlah nash yang memastikan bahwa yang mereka maksudkan dengan kufur adalah kufur yang membuat pelakunya kekal di dalam neraka13.” (Ash-Shahihah, 1/174)

Wallahu Ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan Kaki:

1 Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri, Abu ‘Amr Al-Auza’i, Abdullah ibnul Mubarak, Hammad bin Zaid, Waki’ ibnul Jarrah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahuyah, dan murid/ pengikut mereka berpandangan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh. Kemudian mereka berbeda pendapat, apakah dibunuh sebagai seorang muslim yang menjalani hukum had sebagaimana dibunuhnya zina muhshan (orang yang sudah/pernah menikah lalu berzina), ataukah dibunuh karena kafir sebagaimana dibunuhnya orang yang murtad dan zindiq. (Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hal. 7 dan 20)

2 فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas dengan kerugian. Qatadah berkata, “(Kelak mereka akan menjumpai) kejelekan.” Ibnu Mas’ud menafsirkannya dengan sebuah lembah di neraka Jahannam yang sangat dalam lagi sangat buruk makanannya. Adapula yang menafsirkannya dengan sebuah lembah di Jahannam yang berisi darah dan nanah. (Al-Mishbahul Munir fit Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 830-831)

3 Bila sampai vonis kafir dijatuhkan berarti diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir/murtad. Seperti tidak memperoleh warisan dari kerabatnya yang meninggal, bila sudah beristri (dan istrinya seorang muslimah) maka ia harus menceraikan istrinya, bila belum maka tidak boleh dinikahkan dengan wanita muslimah. Bila ia meninggal dunia, jenazahnya tidak boleh dimakamkan di pekuburan muslimin dan seterusnya.

4 Dan pendapat ini pula yang dipegangi oleh sebagian besar imam dakwah pada hari ini. Di antaranya Samahatusy Syaikh Ibn Baz, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan guru kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahumullah.

5 Ada dua riwayat dari Al-Imam Ahmad dalam masalah membunuh orang yang meninggalkan shalat ini.

Pertama: Ia dibunuh sebagaimana dibunuhnya orang yang murtad. Demikian pendapat ini dipegangi oleh Sa’id bin Jubair, Amir Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakha’i, Abu ‘Amr Al-Auza’i, Ayyub As-Sikhtiyani, Abdullah ibnul Mubarak, Ishaq bin Rahuyah, Abdul Malik bin Hubaib dari kalangan Malikiyyah, satu sisi dalam madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, Ath-Thahawi menghikayatkan dari Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri dan Abu Muhammad ibnu Hazm menghikayatkannya dari ‘Umar ibnul Khaththab, Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah dan selain mereka dari kalangan shahabat.

Kedua: Dibunuh sebagai hukum had, bukan karena kafir. Demikian pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan Abu Abdillah ibnu Baththah memilih riwayat ini. (Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hal. 20)

6 Yakni si pezina tidak mungkin melakukan perbuatan zina di kala imannya sempurna. Hanyalah ia jatuh ke dalam perbuatan nista tersebut karena imannya sedang lemah. Dengan demikian hadits ini bukanlah menunjukkan bahwa pezina itu tidak punya iman dalam arti keluar dari iman dan masuk ke dalam kekafiran, namun si pezina tetap seorang muslim dengan keimanan yang sekadar mensahkan keislamannya.

7 Seperti hadits Jabir dan hadits Buraidah.

8 Apabila si hamba meninggal dalam keadaan membawa dosa syirik, tidak sempat bertaubat dari kesyirikan. Adapun bila bertaubat dari dosa-dosanya maka:

إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا

“Sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa.” (Az-Zumar: 53)

9 Yang harus selalu diingat, hukum had bukanlah ditegakkan oleh orang per orang atau suatu perkumpulan/organisasi perorangan, namun yang berwenang dalam penegakannya adalah wulatul umur, yaitu pemerintah kaum muslimin.

10 Dan ia mati tentunya bukan sebagai orang kafir tapi sebagai orang fasik, seorang mukmin yang mengerjakan dosa besar. Sehingga pengurusan jenazahnya tetap diselenggarakan oleh kaum muslimin sebagaimana penyelenggaraan jenazah orang Islam; ia dimandikan, dikafani, dishalati dan dikuburkan di pemakaman muslimin.

11 Berargumen dengan ayat:

فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيْلَهُمْ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian jumpai mereka dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Apabila mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 5)

12 Berdalil dengan hadits:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ فِي كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ

“Sesungguhnya Allah menetapkan untuk berbuat ihsan (berbuat baik) dalam segala sesuatu, maka kalau kalian membunuh baikkanlah dalam cara membunuh.” (HR. Muslim no. 1955)

Sementara membunuh dengan memukulkan pedang ke leher (memenggal) merupakan sebaik-baik cara membunuh dan lebih cepat menghilangkan nyawa, sehingga tidak menyakitkan dan menyiksa orang yang dibunuh.

13 Karena ada yang namanya kufrun duna kufrin, yaitu amalnya merupakan amalan kekafiran namun pelakunya belum tentu dikafirkan.

Kamis, 27 Januari 2011

Karakteristik Manhaj/Dakwah Ahlussunnah wal Jama’ah [1]

Al-Ustadz Luqman Jamal, Lc.

PERTANYAAN

Maraknya klaim sebagian dakwah bahwasanya dakwah mereka adalah dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah telah membingungkan umat. Untuk itu, mohon jelaskan ciri-ciri khas/karakteristik dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah agar kami bisa membedakan antara dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang benar dengan dakwah yang lain!

JAWABAN

Karakteristik manhaj/dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang membedakannya dengan ahlul bid’ah sangat banyak, dan telah dijelaskan oleh para Imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam banyak kitab karya mereka dan tersebar luas di kalangan kaum muslimin. Untuk itu, kami sebutkan sebagian dari karakteristik tersebut, di antaranya:

Pertama , Ahlus Sunnah Wal Jamaah menerima dan mengambil agama dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amatlah sedikit kalian mengambil pelajaran (darinya).” [ Al-A’raf: 3 ]

Allah Jalla Dzikruhu juga berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya.” [ Al-Hujurat: 1 ]

Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,

تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا : كَتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ

“Saya meninggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat sesudahnya (yaitu) Kitabullah dan Sunnahku dan keduanya tidak akan bercerai sampai keduanya menemuiku di telaga.” ( Shahih Jami’ Ash-Shaghir karya Al-Albany jilid 3 hal. 39 no. 2934)

Berkata Imam Az-Zuhry rahimahullah, “Dari Allah (turunnya) Ar-Risalah ‘agama,syariat’, dan kewajiban Rasul (shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam ) adalah menyampaikan, dan kewajiban kita adalah At-Taslim ‘menerima, tunduk, berserahkan diri’.” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dalam Kitab At-Tauhid secara mu’allaq. Lihat Fathul Bary 13/508)

Kemudian Imam Ath-Thahawy menyatakan, “Tidaklah tsabit ‘kuat’ keislaman seseorang kecuali dengan menerima dan berserah diri (kepada kitab dan sunnah-pent.) dengan sepenuh hati.” ( Syarh Al-‘AqidahAth-Thahawiyah hal.201)

Kedua , Ahlus Sunnah Wal Jamaah tidak membedakan antara Al-Qur`an dan As-Sunnah, karena keduanya berasal dari sisi Allah Azza wa Jalla dan keharusan menerimanya adalah sama.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Dan tidaklah yang dia (Rasulullah) ucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain kecuali wahyu yang diwahyukan padanya .” [ An-Najm: 3-4 ]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

“Barangsiapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah .” [ An-Nisa`: 80 ]

Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,

أَلاََ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

“Ketahuilah, sesungguhnya saya telah diberi Al-Qur`an dan yang semisal dengannya .” (Diriwayatkan oleh Ahmad 4/130-131 dan Abu Daud 5/13 no. 4605. Dishahihkan oleh Al-Albany rahimahullah dalam Shahih Al Jami’ 2643)

Ketiga , Ahlus Sunnah Wal Jamaah berhujjah dengan hadits-hadits yang shahih, baik yang mutawatir maupun ahad, baik dalam masalah aqidah maupun ahkam, dan tidak ada perbedaan antara keduanya.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan apa-apa yang Rasul datangkan kepada kalian maka terimalah, dan apa-apa yang beliau larang maka tinggalkanlah.” [ Al-Hasyr: 7 ]

Allah Ta’ala berfirman,

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” [ An-Nisa`: 59 ]

Berkata Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al-Ihkam hal. 102, “Maka benarlah dengan ini, bahwa umat berijma’ dalam menerima khabar ahad seorang yang terpercaya dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , juga seluruh kaum muslimin menerima khabar ahad seorang yang terpercaya dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam .”

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Ash-Shawa’iq Al-Mursalah 2/262, “Maka yang dijadikan sandaran oleh orang-orang yang menafikan ilmu (yakin) dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , yang dengan hal tersebut mereka telah mengoyak/merobek ijma’ para shahabat yang dimaklumi secara darurat (pasti) dalam agama, (mengoyak) ijma’ para tabi’in dan ijma’ para imam kaum muslimin. Dan mereka (yaitu orang-orang yang menafikan bahwa hadits ahad memberi faidah ilmu-pent.) dengan hal tersebut telah mencocoki kaum Mu’tazilah, Jahmiyah, Rafidhah dan Khawarij.”

Keempat , Ahlus Sunnah Wal Jamaah memahami, mengambil dan mengamalkan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih dengan mengikuti jalan As-Salaf Ash-Shalih.

Allah ‘Azza wa Jalla menerangkan kewajiban mengikuti jalan mereka dalam firman-Nya,

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [ At-Taubah: 100 ]

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang yang menyelisihi jalan mereka dengan firman-Nya,

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia larut terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [ An-Nisa: 115 ]

Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهْدِيْيِنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Wajib atas kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan kepada sunnah Al-Khulafa` yang mendapat hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian, dan berhati-hatilah terhadap perkara yang baru dalam agama, karena sesungguhnya semua perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.”

Berkata Imam Ahmad ( Ushul As-Sunnah hal.14), “Dasar-dasar sunnah (agama) di sisi kami adalah berpegang teguh pada apa yang ada pada shahabat Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , mencontoh mereka dan menjauhi bid’ah-bid’ah, karena setiap bid’ah adalah kesesatan.”

Berkata pula Imam Ash-Shabuni ( ‘Aqidatus Salaf hal. 114), “Dan mereka ( Ahlus Sunnah Wal Jamaah , Ahlul Hadits-pent.) mengikuti para salaf yang shalih dari (kalangan) imam-imam dalam agama dan ulama-ulama kaum muslimin, dan mereka berpegang teguh sesuai dengan apa yang ada pada mereka, memegang teguh agama dengan kokoh dan berada di atas kebenaran yang nyata.”

Kelima , berdasarkan poin di atas, Ahlus Sunnah Wal Jamaah meyakini bahwa jalan As-Salaf Ash-Shalih adalah aslam ‘lebih selamat’, a’lam ‘lebih berilmu’, dan ahkam ‘lebih berhikmah’, tidak sebagaimana yang disangka oleh ahlul kalam dan semisalnya bahwa jalan As-Salaf Ash- Shalih hanya aslam sedangkan jalan Khalaf ‘orang-orang belakangan’ a’lam dan ahkam.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Dan sungguh mereka telah membuat kedustaan terhadap jalan Salaf dan mereka telah sesat dengan membenarkan jalan Khalaf. Maka mereka pun mengumpulkan antara kebodohan tentang jalannya Salaf dengan berdusta atas mereka dan kebodohan dan kesesatan dengan membenarkan jalannya Khalaf. (Lihat Fatawa Al-Hamawiyah Al-Kubra hal. 31-32, cet. Maktabatu Harra`)

Keenam , Ahlus Sunnah Wal Jamaah memulai dakwah mereka dengan hal terpenting kemudian hal yang penting setelah hal terpenting tersebut, karena mereka mendahulukan apa yang didahulukan oleh Allah dan rasul-Nya dan mengakhirkan apa yang diakhirkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk dan rahmat, agar mereka mengingat.” [ Al-Qashash: 43 ]

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, dalam kaset yang berjudul Al-Qawa’id Fi Al-Minhaj , menukil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa ayat ini menunjukkan sesungguhnya ahkam ‘ hukum-hukum’ itu turun setelah tetapnya syariat, ketika Allah telah membinasakan Fir’aun dan kaumnya. Kemudian, setelah dakwah Nabi Musa ‘ alaihis salam kokoh, barulah Allah menurunkan kepadanya Al-Kitab, yaitu Taurat.

Juga dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘ anhuma , Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,

نَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ

“Kami memulai dengan apa yang Allah memulai dengannya.” (diriwayatkan oleh Muslim)

Ketujuh , prioritas utama dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah dakwah kepada tauhid, karena tauhid merupakan misi dakwah para nabi dan rasul di muka bumi ini. Mereka memulai dakwahnya dengan tauhid dan mengakhiri dakwahnya dengan tauhid.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.’.” [ An-Nahl: 36 ]

Allah Jalla Dzikruhu juga berfirman,

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘ Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.’.” [ Al-Anbiya`: 25 ]

Allah Jalla Sya`nuhu menyatakan pula,

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’.” [ Az-Zumar: 65 ]

Lalu, Allah Rabbul ‘Izzah berfirman,

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah sesembahanmu dan sesembahan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il dan Ishaq, (yaitu) sesembahan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’.” [ Al-Baqarah: 133 ]

Selain itu, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

لَمَّا بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ إِنَّكَ تَقْدُمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ تَعَالَى.

“Tatkala Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau berkata kepadanya, ‘ Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari (kalangan) Ahli Kitab, maka hendaknya yang engkau dakwahkan di awal kali kepada mereka adalah untuk mentauhidkan Allah Ta’ala.’.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)

Kemudian, di akhir hayat, dalam keadaan sakit, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam juga memperingatkan umatnya dari kesyirikan sebagaimana sabda beliau,

لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَىَ اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Allah telah melaknat orang Yahudi dan Nashara. Mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)

Kedelapan , dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah dakwah sumuliyah ‘ universal’, mencakup seluruh bagian agama tanpa terkecuali. Mereka mengagungkan dan memuliakan seluruh perkara agama karena sifat syariat itu cocok untuk segala zaman, setiap umat, dan seluruh keadaan.

Allah Jalla wa ‘ Ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kalian.” [ Al-Baqarah: 208 ]

Berkata Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, “Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya lagi membenarkan rasul-Nya, untuk mengambil seluruh bagian-bagian Islam dan syariatnya, mengerjakan semua perintah-perintah-Nya, dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai dengan apa yang mereka mampu.”

Allah JallaTsana`uhu juga berfirman,

“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan syi’ar- syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [ Al-Hajj: 32 ]

Allah ‘ Azzat Azhamatuhu berfirman pula,

“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah yang terbaik baginya di sisi Rabbnya.” [ Al-Hajj: 30 ]

Bahkan perkara-perkara yang kelihatannya sepele pun diterangkan dalam agama ini, sehingga membuat orang-orang musyrikin dan ahlul kitab iri hati dan dengki, sebagaimana dalam hadits Salman Al-Farisy bahwa beliau berkata,

قَالَ لَنَا الْمُشْرِكُوْنَ هَلْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْئٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ, قَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِيْنِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلِّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيْعٍ أَوْ بِعَظْمٍ.

“Kaum musyrikin berkata kepada kami, ‘ Apakah nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) tata cara buang air?’ Maka dia menjawab, ‘ Benar, sungguh beliau telah melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau kencing, (melarang) kami ber- istinja` dengan tangan kanan, (melarang) kami beristinja` kurang dari tiga batu atau kami beristinja` dengan kotoran atau tulang.’.” (diriwayatkan oleh Muslim)

Kesembilan , Ahlus Sunnah Wal Jamaah terus-menerus menampakkan dan membela kebenaran sampai hari kiamat dan tidak takut cercaan orang yang mencela mereka.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu), dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” [ Al-Hijr: 94 ]

Allah JallaTsana`uhu juga berfirman,

“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al Qur`an, (supaya jelas jalan orang-orang yang shalih) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” [ Al-An’am: 55 ]

Allah Jalla Sya`nuhu telah mengambil janji kepada manusia supaya tidak menyembunyikan kebenaran sebagaimana dalam firman-Nya,

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.’.” [ Ali ‘Imran: 187 ]

Kemudian, Allah Jalla Sya`nuhu menyatakan ancaman untuk mereka yang menyembunyikan kebenaran sebagaimana dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab, dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” [ Al-Baqarah: 174 ]

Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda dalam hadits yang mutawatir riwayat Bukhary, Muslim, dan lain-lain,

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus menerus ada sekelompok manusia dari umatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan orang-orang yang mencerca dan menyelisihi mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu.”

Juga dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit riwayat Bukhary-Muslim, beliau dibaiat oleh Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam atas beberapa perkara, di antaranya,

وَعَلَى أَنْ نَقُوْلَ الْحَقَّ أَيْنَمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ

“Dan agar kami mengucapkan kebenaran di manapun kami berada. Kami tidak boleh takut di (jalan) Allah terhadap cercaan orang yang mencerca.”

Lalu, dari Abu Dzar Al-Ghifary radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam memerintahkannya dengan tujuh perkara, di antaranya,

وَأَنْ أَقُوْلَ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا

“Dan hendaknya aku mengucapkan kebenaran walaupun itu pahit.” (diriwayatkan oleh Ahmad 5/159,173 dan lain-lain. Dishahihkan oleh Al-Muhaddits Al-‘Allamah Al-Albany rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 2166 dan Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy rahimahullah dalam Ash-Shahih Al-Musnad )

Kesepuluh , Ahlus Sunnah Wal Jamaah tetap berada di atas al-haq dan tidak ragu, bimbang, goncang, atau mengalami kontradiksi sebagaimana kebiasaan pengekor hawa nafsu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan merasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” [ Al-Isra`: 74-75 ]

Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah,

إِنَّ مِنْ شَرِّ النَّاسِ ذَا الْوَجْهَيْنِ الَّذِيْ يَأْتِيْ هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ

“Sesungguhnya, dari sejelek-jelek manusia adalah yang mempunyai dua muka, yang datang kepada mereka (suatu kaum) dengan satu wajah dan (datang) kepada mereka (kaum yang lain) dengan satu wajah (yang lain).” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)

Mereka selalu ingat dan memperhatikan nasihat Hudzaifah bin Yaman kepada Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma,

اعْلَمْ أَنَّ الضَّلاَلَةَ حَقَّ الضَّلاَلَةِ أَنْ تَعْرِفَ مَا كُنْتَ تُنْكِرُ وَأَنْ تُنْكِرَ مَا كُنْتَ تَعْرِفُ وَإِيَّاكَ وَالتَّلَوُّنَ فَإِنَّ دِيْنَ اللهِ وَاحِدٌ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kesesatan yang sebenarnya adalah kamu mengetahui apa yang dahulu kamu ingkari, dan kamu mengingkari apa yang dahulu kamu ketahui, dan berhati-hatilah terhadap (sikap) berubah-ubah dalam agama, karena sesungguhnya agama Allah itu satu.” (Diriwayatkan oleh Ma’mar bin Rasyid dalam Jami’ -nya sebagaimana di bagian akhir Mushannaf ‘Abdurrazzaq 11/249, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf -nya 7/140, Al-Harits bin Abi Usamah dalam Musnad -nya no. 470 ( Zawa`id Al-Haitsamy ), Al-Baihaqy 10/42, dan Al-Lalika`iy dalam Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/90)

Kesebelas , Ahlus Sunnah Wal Jamaah sepakat pada pokok-pokok aqidah. Tidak ada perbedaan dan perselisihan di antara mereka walaupun mereka berbeda masa.

Berkata Syaikhul Islam Abul Muzhaffar Manshur bin Muhammad As-Sam’any rahimahullah, “Dan perkara yang paling jelas, yang menunjukan bahwasanya ahlul hadits adalah ahlul haq, yaitu sesungguhnya jika kamu menelaah atau memperhatikan seluruh kitab-kitab yang mereka tulis, dahulu maupun sekarang, walaupun negeri mereka berbeda-beda dan jaraknya berjauhan dan tinggal di negeri-negeri yang berbeda, kamu mendapati mereka, dalam menjelaskan aqidah, (berada) di atas satu cara dan jalan yang sama. Mereka berjalan di atas jalan tersebut dan tidak berpaling darinya, dan tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi ucapan mereka pada yang demikian itu. Penukilan mereka satu. Kamu tidak mendapati perbedaan dan perpecahan sedikit pun pada mereka, bahkan kalau kamu mengumpulkan seluruh perkataan yang keluar dari lisan-lisan mereka dan nukilan-nukilan mereka dari pendahulunya, kamu mendapatkan seakan-akan hal di atas berasal dari satu hati dan satu lisan. Maka apakah setelah kebenaran ini ada dalil yang lebih jelas darinya?

Allah berfirman,

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`an? Kalau kiranya Al-Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” [ An-Nisa`: 82 ]

Juga firman Allah,

“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu bermusuh musuhan (pada masa Jahiliyah), maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu jadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk.” [ Ali ‘Imran: 103 ]

Adapun jika kamu melihat pada ahlul ahwa` wal bida’, maka kamu melihat mereka bercerai-berai, berselisih dalam kelompok-kelompok dan partai-partai. Hampir-hampir kamu tidak mendapati dua (kelompok) di antara mereka (berada) di atas satu jalan dalam keyakinannya, membid’ahkan antara satu dengan yang lain, bahkan sampai mengkafirkan. Anak mengkafirkan bapaknya, seseorang mengkafirkan saudaranya, dan tetangga mengkafirkan tetangganya. Kamu mendapati mereka paling menonjol dalam perselisihan, kebencian dan perbedaan. Mereka menghabiskan umurnya, sementara kalimat mereka tidak pernah sepakat, sebagaimana firman Allah,

“Mereka tiada akan memerangi kalian dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu menganggap mereka itu bersatu padahal hati-hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti.” [ Al-Hasyr: 14 ].”

Lalu beliau memberi beberapa contoh, kemudian berkata, “Dan apakah di atas kebatilan ada dalil yang lebih jelas dari perkara ini? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” [ Al-An’am: 159 ].”

(Lihat Al-Intishar Li Ahlil Hadits dengan perantaraan Shaunul Mantiq hal. 165-170, Al-Hujjah Fi Bayan Al-Mahajjah 2/222-230, dan Mukhtashar Ash-Shawa’iq hal. 496-498)

Kedua belas , di antara karakteristik yang paling jelas membedakan antara Ahlus Sunnah Wal Jamaah dengan ahlul bid’ah wal furqah adalah hakikat nama dan penyandaran. Ahlus Sunnah Wal Jamaah pada setiap penamaannya: Salafiyun, Ath- Thaifah Al-Manshurah , Al-Firqah An-Najiyah, dan Ahlul Hadits, semuanya adalah sandaran kepada sunnah dan jamaah yang hanya menggambarkan Islam yang hakiki. Adapun ahlul bid’ah wal furqah, penyandarkan diri mereka kadang kepada seseorang dari ahlul bid’ah atau pimpinan kesesatan seperti Jahmiyah, Kullabiyah, Maturidiyah, Jama’ah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Sururiyah, dan Quthbiyah, kadang kepada pokok kesesatan mereka seperti Qadariyah, Jabariyah, dan Murji’ah, dan kadang kepada bentuk dan sifat kesesatan mereka seperti Rafidhah, Shufiyah, Falasifah, Bathiniyah, Mu’tazilah, dan Musyabbihah.

Berkata Al-Maqdisy, “Dan semua yang memberi nama selain Islam dan sunnah adalah ahlul bid’ah seperti Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan yang seperti mereka. Ini adalah kelompok-kelompok sesat dan kelompok-kelompok bid’ah. Semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lihat Lum’ah Al-I’tiqad hal. 124)

Secara umum, penamaan Ahlus Sunnah Wal Jamaah berbeda dengan penamaan ahlul bid’ah wal furqah dari beberapa sisi:

1. Penamaan-penamaan Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah penisbahan kepada generasi awal umat Islam yang berada di atas tuntunan Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam . Penamaan tersebut akan mencakup seluruh umat pada setiap zaman yang berjalan sesuai dengan jalan generasi awal tersebut, baik dalam mengambil ilmu, memahamkan, maupun berdakwah.
2. Kandungan dari penamaan-penamaan tersebut hanyalah menunjukkan tuntunan Islam yang murni, yaitu Al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , tanpa ada penambahan atau pengurangan sedikit pun.
3. Penamaan-penamaan tersebut adalah penamaan syariat yang mempunyai asal dalil dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam .
4. Penamaan-penamaan tersebut hanyalah muncul untuk membedakan antara pengikut kebenaran dan para pengekor hawa nafsu dan golongan-golongan sesat, serta sebagai bantahan terhadap bid’ah dan kesesatan mereka.
5. Ikatan wala’ ‘loyalitas’ dan bara’ ‘kebencian, permusuhan’ bagi orang-orang yang bernama dengan penamaan tersebut hanyalah di atas Islam (Al-Qur`an dan Sunnah), bukan karena seorang tokoh, pemimpin, kelompok, organisasi, dan lain-lain.
6. Tidak ada fanatisme bagi orang-orang yang memakai penamaan-penamaan tersebut kecuali kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , karena pemimpin dan panutan mereka hanyalah satu, yaitu Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam . Berbeda dengan orang-orang yang menisbahkan dirinya ke penamaan-penamaan bid’ah. Fanatismenya untuk golongan, kelompok, atau pimpinan.
7. Penamaan-penamaan tersebut sama sekali tidak akan menjerumuskan seseorang ke dalam suatu bid’ah, maksiat, maupun fanatisme kepada seseorang, kelompok, dan lain-lain.

Lihat Risalah Ilmiah An-Nashihah vol. 02 rubrik Manhaj.

Ketiga belas , Ahlus Sunnah Wal Jamaah menasihati kaum muslimin di manapun mereka berada, khususnya di negeri-negeri kaum muslimin, agar mencintai ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah , ber-wala’ kepadanya, memuliakannya dan menyebutnya dengan kebaikan, tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain, menaatinya, dan merujuk kepada mereka khususnya dalam perkara-perkara besar dan nawazil, yang berkaitan dengan maslahat umat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan Ulil Amri di antara kalian.” [ An-Nisa`: 59 ]

Allah ‘ Azza wa Jalla juga berfirman,

“Maka tanyakanlah oleh kalian kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tiada mengetahui.” [ Al-Anbiya`: 7 ]

Allah memerintahkan pula dalam firman-Nya,

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita berkaitan dengan keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalaulah bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikut syaithan, kecuali sebahagian kecil saja (di antara kalian).” [ An-Nisa`: 83 ]

Ulamalah yang mengetahui yang haq serta menetapkan dan menghukumi dengan haq, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalannya Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” [ Saba `: 6 ]

Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam hadits Abu Darda,

إِنَّ الْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَأَنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يَوْرِثْ دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang sempurna.” (diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud no. 3096, Shahih At-Tirmidzy 2/59, dan Shahih Ibnu Majah no. 223)

Berkata Ash-Shabuny ( ‘ Aqidatus Salaf hal.121), “Salah satu karakteristik Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah kecintaan mereka kepada imam-imam sunnah, ulama-ulamanya, penolong-penolongnya, dan wali-walinya.”

Berkata Ath-Thahawy rahimahullah, “Dan ulama salaf, dari yang terdahulu dan sesudahnya, dari kalangan tabi’in (yang mereka itu adalah) ahli kebaikan dan atsar, ahli fiqih dan nazhar, tidaklah disebut kecuali dengan kebaikan, dan siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan, maka ia tidak berada di atas jalan (Islam dan sunnah-pent.).” (dari Syarh Al- ‘ Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 740)

Siapakah ulama sunnah itu?

Berkata Imam Ibnu ‘ Abdil Barr, “Telah sepakat ahli fiqih dan atsar dari seluruh negeri bahwasanya ahlul kalam adalah ahlul bida’ dan penyimpangan, dan tidak dianggap ke dalam kelompok ulama menurut mereka di seluruh negeri. Sesungguhnya ulama itu adalah ahlul atsar, dan (kita) mengambil fiqih darinya, dan mereka bertingkat-tingkat di dalamnya sesuai dengan kemahirannya, keahliannya, dan pemahamannya.” (Lihat Jami ’ Bayanil ‘ Ilmi Wa Fadhlihi 2/95-96).

Berkata Imam Al-Barbahary ( Syarhus Sunnah hal. 102 no. 103), “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-, sesungguhnya ilmu itu bukanlah karena banyaknya riwayat dan kitab. Sesungguhnya ‘ Alim (ulama) itu adalah siapa yang mengikuti ilmu dan sunnah walaupun sedikit ilmu dan kitabnya, dan siapa yang menyelisihi kitab dan sunnah maka dia adalah ahlul bid’ah walaupun banyak ilmu dan kitabnya. ”

Salah satu ciri khas ahlul bid’ah adalah membenci ahlul hadits.

Berkata Ahmad bin Sinan Al-Qaththan, “Tidak ada seorang pun mubtadi’ (penganut bid’ah) di dunia kecuali dia pasti membenci ahlul hadits. Dan apabila seseorang berbuat bid’ah, maka akan dicabut manisnya hadits dari hatinya.” (Lihat ‘ Aqidah Ashhabil Hadits hal. 116, Shaunul Manthiq hal. 41, dan Tadzkiratul Huffazh 2/521)

Keempat belas , Ahlus Sunnah Wal Jamaah menyeru kaum muslimin untuk saling mencintai, merahmati dan menjalin ukhuwah islamiyah di antara mereka.

Seluruh hal tersebut sebagai realisasi dari firman Allah ‘Azza wa Jalla,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” [ Maryam: 96 ]

Juga firman Allah Jallat ‘Azhamatuhu,

“Dan orang-orang, yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), berdoa, ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’.” [ Al-Hasyr: 10 ]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula,

“Sesungguhnya orang-orang mukmin bersaudara.” [ Al-Hujurat: 10 ]

Kondisi tersebut berbeda dengan kondisi umat-umat kafir dan kelompok-kelompok yang sesat, yang Allah telah menetapkan kebencian dan permusuhan di antara mereka sehingga hati mereka bercerai-berai walaupun mereka berusaha menampakkan dan meneriakkan slogan persatuan dan kasih sayang, sebagaimana dalam firman Allah Al-‘Alim bidzatish Shadur,

“Kamu mengira mereka itu bersatu padahal hati mereka berpecah-belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti.” [ Al-Hasyr: 14 ]

Kelima belas , termasuk karakteristik Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang menonjol adalah kesungguhan dan kontinuitas mereka dalam menuntut ilmu syariat (Al-Qur`an dan Sunnah). Hal tersebut karena banyaknya dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah yang menunjukkan tentang keutamaan dan anjuran untuk menuntut ilmu, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, ‘ Berlapang-lapanglah dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan, ‘ Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” [ Al-Mujadilah: 11 ]

Selain itu, dakwah di jalan Allah harus disertai dengan ilmu, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

“Katakanlah, ‘ Inilah jalan (agama)ku. Saya dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan saya tiada termasuk orang-orang yang musyrik.’.” [ Yusuf: 108 ]

Sesungguhnya dakwah di jalan Allah adalah kewajiban, maka seorang da’i wajib untuk berilmu tentang apa yang dia dakwahkan.

Berkata Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, “Orang jahil tidak pantas untuk menjadi da’i.” (Lihat muqaddimah beliau terhadap kitab Manhajul Anbiya` fid Da’wah hal. 20 karya Syaikh Rabi’ bin Hady Al-Madkhaly hafizhahullah)

Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim.” (diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lain-lain, dari Anas bin Malik. Dihasankan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil rahimahumallah)

Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam juga bersabda,

يَحْمِلُ هَذَا الدِّيْنَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الُمْبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

“Agama ini akan diemban pada setiap generasi oleh orang-orang yang adil di antara mereka, (yang mereka itu) akan menolak setiap penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, kerusakan orang-orang yang batil, dan penakwilan orang-orang yang bodoh.” (Dishahihkan oleh Imam Ahmad sebagaimana dalam Syaraf Ashhabil Hadits hal. 29 karya Al-Khatib Al-Baghdady dan dihasankan oleh Salim Al-Hilaly dalam Basha`ir Dzawi Asy-Syaraf hal. 111)

Berkata Imam Ibnul Qayyim, “Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam memberitakan bahwasanya ilmu yang dibawanya akan dipikul oleh orang-orang yang adil dari umatnya, dari setiap generasi, supaya tidak lenyap dan hilang.” (lihat Miftah Dar As-Sa’adah 1/163)

Berkata Al-Isma’ily ( I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama ’ ah hal. 54), “Mereka ( Ahlus Sunnah Wal Jamaah ) melihat (betapa wajibnya) mempelajari ilmu (syar’i) dan mencarinya (menuntutnya) dari tempatnya, dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari Al-Qur`an dan ilmu-ilmu tafsir, mendengarkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , menghafalkannya dan mempelajarinya (memahaminya), dan menuntut (mempelajari) atsar-atsar shahabat.”

Berkata Imam Al-Barbahary ( Syarhus Sunnah hal. 67 no. 8), “Maka lihatlah -semoga Allah memberikan rahmat kepadamu-, semua ucapan yang kamu dengar dari orang-orang, khususnya pada zamanmu, maka janganlah tergesa-gesa dan jangan masuk padanya (membenarkannya) sedikit pun sebelum kamu bertanya dan melihat apakah para shahabat Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam atau seseorang dari ulama telah berbicara tentangnya (apa yang diucapkannya). Jika kamu mendapatkan suatu atsar padanya (yaitu orang yang berbicara dan berfatwa dari shahabat), berpegang teguhlah dengannya, jangan kamu melampauinya sedikit pun, dan jangan kamu memilih selainnya sedikit pun yang menyebabkan kamu masuk (ke dalam) neraka.”